Source:internet |
Pendahuluan
Islam sebagai sebuah ‘tamaddun’ (peradaban), pernah mengalami masa pertumbuhan dan kemajuan hingga kemunduran. Pada abad ke-7, Islam menaruh perhatian terhadap ilmu pengetahuan pertama kalinya di Damaskus. Pada masa itu pusat ilmu pengetahuan Islam berpindah ke Baghdad dan di sanalah lahir para ilmuwan-ilmuwan muslim generasi awal dari pesantren, seperti Al-Khawarizmi dengan karyanya yang populer (Atmaja, 2011).
Selain
Khawarizmi, pada abad ke8 hingga dengan abda-12 M, muncul tokoh-tokoh dan ilmuwan
yang cerdas, aktif, dan handal, seperti Al-Kindi, Ibn Sina, Al Farabi, Al
Biruni. Sayyed Hossein Nasr (1987) menyebut mereka sebagai figur-figur
universal ilmu pengetahuan Islam.
Al-Khawarizmi
salah satu ilmuwan dan filsuf muslim yang dikenal pada masa itu. Pemikiran
Al-Khawarizmi dipengarhi oleh perkembangan astronomi yang telah berkembang
sebelumnya. Karya-karyanya meliputi berbagai bidang disiplin llmu seperti
matematika, astronomi geografi dan kartografi (Mulyadi, 2018).
Karya terbesarnya diantaranya adalah aljabar dan algoritma. Sedangkan Ibn Sina merupakan salah satu filsuf dan pakar kedokteran yang karya-karyanya yang selalu dikenang sepanjang zaman. Karya Ibnu Sina berjumlah 276, dan yang terkenal adalah As-Shifa. Al-Shifa merupakan buku filsafat yang terpenting dan terbesar dari Ibnu Sina, terdiri dari empat bagian yaitu logika, fisika, matematika, dan metafisika (Nur, 2009). Al kindi adalah seorang filsuf muslim, plymath (multi tasking), matematikawan, dan seorang dokter. Al Kindi dikenal sebagai bapak kriptografi.
Selain
telah melahirkan ilmuwan besar, pada masa kejayaannya peradapan Islam juga
telah mentorehkan sebuah pusat pendidikan yang bernama Bayt Al-Hikmah. Menurut
Philip K Hitti (1974), Bayt Al-Hikmah didirikan pada masa Dinasti Abbasiyah.
Institusi ini bukan sekedar biro penerjemahan, tetapi sekaligus perpustakaan
dan akademi pendidikan yang tinggi, yang dalam berbagai hal merupakan lembaga
pendidikan yang paling penting di dunia Islam saat itu. Bayt al-Hikmah
merupakan salah satu bukti Dinasti Abbasiyah berada pada zaman keemasan
(Farabi, 2009).
Jadi
era keemasan Islam sangat ditentukan oleh faktor pendidikan. Pendidikan Islam
dulu berkembang maju hingga menyumbang kebangkitan peradapan Islam. Peradaban
Islam mulai menurun seiring dengan menurunnya pendidikan dan pemikiran Islam.
Pemikiran keIslaman menurun setelah abad XIII M dan terus melemah sampai abad
XVIII M (Syarif, 2015).
Diantara
penyebab melemahnya pemikiran Keislaman antara lain: (1) Telah banyaknya
filsafat Islam (yang bercorak sufistis) ke dunia Islam di Barat yang mengarah
pada materialisme, (2) Umat Islam terutama para pemerintahannya melalaikan ilmu
pengetahuan dan kebudayaan, dan (3) Terjadinya pemberontakan yang dibarengi
dengan serangan dari luar sehingga menimbulkan kehancuran-kehancuran yang
mengakibatkan berhentinya kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan
di dunia Islam (Syarif, 2015).
Mundurnya
sains dan pendidikan Islam hari ini daat dilihat dari menurunnya peran
intelektual serta institusi pendidikan Islam dalam memberikan kontribusi
perkembangan ilmu pengetahuan. Salah satu contohnya diantaranya adalah tidak
ada satupun perguruan tinggi Islam (atau yang dikelola oleh mayoritas
penduduknya Muslim) yang masuk 50 besar dalam daftar perguruan tinggi terbaik
dunia. Kita melihat Eropa dan Amerika mendominasi dengan mengirimkan perguruan
tinggi terbaik mereka semisal Harvard, MIT, Yale, Cambridge, Oxford, dan ETH
Zurich. Dalam daftar peraih nobelpun kita masih tertinggal jauh dan hanya mengirmkan
sosok Profesor Abdussalam.
Konteks
pendidikan Islam hari ini, adalah kelanjutan kondisi zaman Islam yang sedang
mundur dan sedang dibangun kembali dengan kondisi terbaru sesuai
perkembangan zaman. Redesigned (format ulang) pendidikan
Islam tanpa meninggalkan Islam sebagai dasar ideologis dan praksisnya.
Syed Naquib Al-Attas termasuk tokoh dan pendidik yang mencoba meredesign pendidikan Islam itu. Makalah ini akan membedah pemikiran Al-Attas tentang konsep pendidikan dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Gagasan Al-Attas sangat relevan dengan kondisi saat ini.
Pembahasan
Beberapa
penulis sejarawan Muslim membagi perkembangan pendidikan Islam menjadi lima
fase: (1) Fase Kenabian, (2) Fase Khulafaur Rasyidin, (3) Fase Dinasti Umayah,
(4) Fase Dinasti Abbasiyah, (5) Fase Kemunduran.
Pendidikan
Islam pada masa Nabi Muhammad SAW terbagi menjadi dua periode, makkah dan Madinah.
Pendidikan Islam pada masa itu berpedoman pada AlQuran dan Sunnah. Nabi
Muhammad sebagai role model dan
kurikulum, kebijakan serta cara penyampaian ilmu langsung disampaikan oleh
rasul. Cara penyampaiannya sangat sederhana, yaitu dengan berhadap atau
bertatap langsung antara pendidik dan peserta didik (Hafiddin, 2015).
Tema sentral yang disampaikan oleh Nabi Muhamad SAW pada masa Makkah adalah tentang Tauhid dan Akhlak. Pada amsa itu juga Nabi Muhammad mengajarkan Al-Quran karena AlQuran merupakan inti sari dan sumber pokok ajaran Islam (Zuhairini, et.al, 2008). Sedangkan pokok pendidikan Islam di Kota Madinah merupakan kelanjutan dari pendidikan Tauhid di Makkah, yaitu pembinaan di bidang pendidikan sosial dan politik (Hafiddin, 2015). Fase Madinah ini nabi Muhammad SAW mencoba meletakan pondasi konsep integral pendidikan Islam yang akan menjadi sumbu bagi kebangkitan peradapan Islam.
Fase
selanjutnya adalah masa Khulafaur Rasyidin )11-41H/632-661 M). Pendidikan Islam
pada masa pemerintahan Abu Bakar As-Siddiq dan Umar Ibn Khattab mengalami
kemajuan pesat, namun pada saat kepemimpinan Ustman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi
Tholib tidak berkembang (Erfinawati, Zuriatin, Rosdiana, 2019).
Pada
fase ini para khalifah masih memusatkan perhatiannya pada pendidikan Islam,
Syiar Agama, dan kokohnya agama Islam. Materi yang dicontohkan oleh Nabi SAW
adalah: Pendidikan Tauhid, Pendidikan Shalat (Ibadah), Pendidikan Kepribadian,
dan Pendidikan Hankam (Aminah, 2015). Kemudian Ramayulis (2012), menambahkan
lembaga pendidikan di masa Abu Bakar mengalami peningkatan, baik segi kuantitas
maupun kualitas. Pada masa Abu Bakar mulai muncul Kutab. Materi pendidikan yang
diajarkan pada Kutab adalah: (1) Membaca dan menulis, (2) Membaca Al-Quran dan
menghafalnya, (3) Pendidikan Keimanan, (4) Pendidikan akhlak, (5) Pendidikan
ibadah, (6) Kesehatan (Yunus, 1989:18).
Selain Kutab, masjid juga berfungsi sebagai lembaga penyebar agama sekaligus mendidik para ulama. Masjid ada dua tingkatan, yaitu tingkat menengah dan tingkat tinggi. Menurut Fuad (dalam Erfinawati, Zuriatin, & Rosdiana, 2019) Yang membedakan antara keduanya adalah tingkat menengah, gurunya belum mencapai status ulama besar, sedangkan pada tingkat tinggi, para pengajarnya adalah ulama yang memiliki pengetahuan mendalam dan berintegritas kesalehan serta kealiman.
Kepemimpinan
Khulafaur Rasyidin kemudian berpindah tangan kepada Dinasti Umayah (661-750 M).
Pendiri dinasti ini adalah Muawwiyah Ibn Abi Sofyan yang berasal dari suku
Quraisy keturunan Bani Umayah yang merupakan khalifah pertama. Pola pendidikan
Islam masa Dinasti Umayah berkembang bila dibandingkan pada masa Khulafaur
Rasyidin yang ditandai dengan semaraknya kegiatan ilmiah di Masjid dan
berkembangnya Khutab serta majelis sastra (Rahimi, 2021).
Majelis
sastra selain tempat berdiskusi juga tempat membahas masalah kesusasteraan dan
politik. Penguasa Ummayah sangat perhatian pada pencatatan kaidah-kaidah nahwu,
pemakaian Bahasa Arab dan mengumpulkan syair-syair Arab dalam bidang syariah,
kitabah dan berkembangnya semi prosa (Salabi, 1972). Pada masa inilah usaha penerjemahan
ilmu-ilmu ke dalam bahasa Arab mulai digalakan. Orang yang pertama kali
melakukan penerjemahan adalah Khalid Ibn Zayid cucu dari Muawwiyah (Suwedi,
2004).
Fase puncak kejayaan pendidikan Islam berada di tangan Bani Abbasiyah. Menurut Khairuddin (2018) popularitas Daulah Abbasiyah men-capai puncaknya di zaman khalifah Harun al-Rasyid (768-809 M) dan puteranya al- Ma’mun (813-833 M). Pada masa ini kejaan ilmu pengetahuan mencapai puncaknya karena didukung oleh kesadaran yang tinggi akan pentingnya ilmu pengetahuan. Menurut Yusuf Qardhawi (2005), mereka memahami bahwa sebuah kekuasaan tidak akan kokoh tanpa didukung oleh ilmu pengetahuan
Pada masa Abbasiyah pengajaran yang diberikan kepada murid-murid dilakukan seorang demi seorang dan belum berkelas-kelas seperti saat ini. Guru mengajar muridnya berganti-ganti dan berhalaqoh (duduk bersila mengelilingi guru) (Rahmawati, 2005). Sedangkan metode pengajaran yang dipakai dikelompokkan menjadi tigas macam, yaitu lisanm hafalan, dan tulisan. Metode lisan bisa berupa dikte, ceramah, qira’ah, dan diskusi (Asrohah, 1999). Karya besar dinasti ini adalah pembangunan Bayt Al-Hikmah, dan menjadikan kota Baghdad menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Setelah
Dinasti Abbasiyah runtuh, ilmu pengetahuan dan pendidikan Islam mengalami
penurunan hingga saat ini. Menurunnya kejayaan Islam karena disebabkan banyak
hal, seperti (1) banyaknya filsafat materialisme bermunculan, serta para
pemimpin yang mulai melalaikan ilmu pengetahuan dan kebudayaan (Syarif, 2015),
dan (2) Banyaknya pemberontakan serta umat Islam mengalami goncangan ekonomi,
sosial dan politik (Nasbi, 2016).
Hingga
banyak ilmuwan dan cendekiawan Muslim yang mencoba mengkaji akar kemunduran
ilmu pengetahuan Islam serta mencoba untuk memberikan alternatif solusi,
diantara mereka ada Jamal Al Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, Ismail
Raji Al-Faruqi, Yusuf Qardhawi hingga Syed Naquib Al-Attas. Tokoh terakhir,
Naquib Al-Attas mencoba secara mendetail melontarkan gagasan untuk
mengembalikan lagi kejayaan ilmu pengetahuan Islam melalui Islamisasi Ilmu
Pengetahuan serta Pendidikan Islam.
Gagasan Al-Attas
Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Syed Muhammad Naquib Al Bin Ali-Al-Attas (lahir 5 September 1931) adalah seorang pendidik, filsuf, sastrawan, teolog, dan sejarawan Muslim Malaysia. Al-Attas adalah seorang penulis dua puluh tujuh karya tentang pemikiran dan peradaban Islam. Ia mengenyam pendidikan di University of Malaya, Mc Gill Kanada, dan University of London. Pada tahun 1987, mendirikan International Institute of Islamic Though and Civilisation (ISTAC) di Kuala Lumpur. Institusi ini berusaha membawa misi Islamisasi terintegrasi. Pada tahun 1977, menjabat sebagai Visiting Professor of Islamic di Temple University, Philadelphia. Satu tahun kemudian memimpin pertemuan para ahli sejarah Islam Unesco.
Yang
melandasi pemikiran Syed Naquib Al-Attas adalah situasi kemunduran umat Islam
dalam berbagai sistem kehidupan, terutama dalam dunia pendidikan dan
perkembangan ilmu pengetahuan (Musayyidi, 2017). Musayyidi mengungkapkan lagi,
perhatiannya yang sangat besar terhadap dunia pendidikan, membuatnya dikenal
sebagai filosofi pendidikan (Musayyidi, 2017).
Dalam
pandangan Al-Attas kemerosotan ilmu pengetahuan Islam terutama sekali berkaitan
dengan epistemologi –epistemologi sains modern berpijak pada landasan pemisahan
agama dalam ilmu pengetahuan (Nuryanti & Hakim, 2020). Menurut Al-Attas
dalam Wan Daud (1998), ilmu pengetahuan yang ada saat ini adalah produk
kebingungan dari skeptisme yang meletakkan keraguan dan spekulasi sederajat
dengan metodologi ilmiah dan menjadikannya sebagai alat epistemologi yang valid
dalam mencari kebenaran.
Kemudian dunia Islam saat ini terjadi westernisasi –pembaratan, mengadaptasi, meniru atau mengambil alih gaya hidup barat. Al-Attas menggap perlunya dewesternisasi sebagai upaya pelepasan sesuatu dari proses pembaratan, atau memurnikan sesuatu dari pengaruh barat (Nuryanti & Hakim, 2020). Upaya dewesternisasi tidak akan signifikan bagi umat Islam bila tidak dilanjuti dengan gerakan Islamisasi (Nuryanti & Hakim, 2020). Islamisasi ilmu pengetahuan yang digencarkan oleh Al-Attas menurut Irma Novayani (2017) bertujuan agar perkembangan ilmu pengetahuan secara konseptual melalui ilmu pengetahuan agar tidak terlepas dari nilai spiritualitas dan transedensi ketuhanannya.
Konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan menurut Al-Attas (dalam Sholeh, 2017) yaitu pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional yang bertentangan dengan Islam dan dari belenggu paham sekuler terhadap pemikiran dan bahasa juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil terhadap hakekat diri atau jiwanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa terhadap hakikat dirinya yang sebenarnya, dan berbuat adil terhadapnya.
Selain Al-Attas, cendekiawan penggagas Islamisasi Ilmu pengetahuan ada Ismail Al Faruqi dan Osman Bakar. Menurut Al-Faruqi (Sholeh, 2017:10) mendefinisikan Islamisasi Ilmu Pengetahuan adalah usaha untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikirkan kembali argume dan rasionalisasi yang berkaitan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan dan melakukan semua itu sedemikian rupa sehingga disiplin-disiplin ini memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi cita-cita. Osman Bakar, berpandangan Islamisasi Ilmu Pengetahuan adalah sebuah program yang berupaya memecahkan masalah-masalah yang timbul karena perjumpaan antara Islam dengan sains modern sebelumnya (Bakar, 1994)
Syed Naquib Al-atats menjelaskan proses Islamisasi ilmu bisa dilakukan dengan dua cara. Yang pertama, ialah melakukan proses pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat. Dari arti menjauhkan diri dari segala sesuatu yang menjadikan peluang-peluang terjadinya budaya yang menimbulkan sesuatu peradaban yang dihasilkan oleh orang-orang Barat. Misalnya, dalam budaya terdapat salah satu unsur budaya adalah bahasa. Bahasa memberi peluang terjadinya budaya yang menjadikan peradaban barat (Sholeh, 2017:10). Karena itu bagi Al-Atats bahasa juga perlu di Islamisasi.
Yang
kedua, menurut Al-Attas adalah memasukan elemen-elemen Islam dan konsep-konsep
kunci ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan. Dalam
arti konsep kedua ini, Al-Attas menindaklanjuti konsep yang pertama yakni
dengan memasukan nilai-nilai Islam dalam unsur-unsur ilmu pengetahuan tersebut
(Sholeh, 2017:11). Kemudian secara spesifik baginya Islamisasi Ilmu Pengetahuan
dapat ditegakkan melalui implementasi pendidikan Islam.
Pendidikan Islam
Filsafat
materialisme dan epistomologi Barat telah banyak mempengaruhi para cendekiawan
hingga para pemimpin di negeri yang banyak dihuni oleh muslim. Puncaknya
melahirkan sekularisme di tengah-tengah masyarakat. Tidak heran jika gaya hidup
materialisme serta hidonisme menjadi virus yang mewabah. Syed Naquib Al-Attas
melihat ini menjadi sebuah problem utama. Ditengah-tenga menggulirkan ide
Islamisasi sains, Al-Attas di saat yang sama menggagas pendidikan modern yang
diilhami dari world view Islam.
Dalam istilah
Islam, pendidikan dikenal dengan tarbiyah, taklim, dan ta’dib. Al-Attas
cenderung memilih Ta’dib (Novayani, 2017). Menurut Al-Attas (1994), pendidikan
khas Islam merupakan pengenalan dan pengakua, secara berangsur-angsur
ditanamkan di dalam diri manusia, mengenaik tempat-temat yang tepat dari segala
sesuatu ke dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa sehingga membimbing ke arah
pengenalan dan pengakuan akan kedudukan Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud
dan kepribadian. Kunci dalam pendidikan modern saat ini menurut Al-Attas adalah
ta’dib. Kata ta’dib berakar dari adab yang berarti pembinaan yang khas berlaku
pada manusia (Nanu, 2021).
Al-Attas
menjelaskan konsep adab. Adab ialah disiplin tubuh, jiwa dan ruh, disiplin
menegaskan pengenalan dan pengakuan tempat yang tepat dalam hubungannya dengan
kemampuan dan potensi jasmaniah, intelektual dan rohaniah; pengenalan dan
pengakuan akan kenyataan bahwa ilmu dan wujud ditata secara hierarkis sesuai
dengan berbagai tingkat (maratib) dan
derajatnya (darajat) (Al-Attas,
1994). Konsep adab yang didefinisikan oleh Al-Attas sangat mendalam dan
menyeluruh.
Menurut
Arisyasari (2013:8) tarbiyah dan ta’lim sekedar melibatkan aktivitas fisik
(pengasuhan, pemeliharaan, perawatan, membesarkan) dan material (baik dengan
harta maupun pengetahuan), dimana kedua istilah tersebutt lebih berorientasi
pada konsep pendidikan Barat yang tidak melibatkan transenden (immateri).
Berbeda dengan adab-ta’dib, sudah
mengandung tarbiyah (pengasuhan yang baik), ta’lim
(pengajaran), bahkan juga ilmu, kearifan, keadilan, kebijaksanaan, dan
kebenaran (Nuryanti, & Hakim, 2020).
Gagasan
Syed Naqib Al-Attas terbagi menjadi tiga kajian penting. Pertama, Tujuan
Pendiidkan Islam. Menurut Al-Attas, pada prinsipnya penddikan itu bertujuan
untuk melahirkan manusia yang baik, manusia adab atau Insan Kamil yang beriman
dan bertaqwa kepada Allah swt sebagai khaliq sang penciptanya (Yasin, 2017). Nampak
jelas bahwasannya tujuan pendidikan Al-Attas adalah melahirkan manusian Insan
Kamil.
Tujuan
ini tidak akan tercapai, jika meninggalkan Islam sabagai konsep World View. Tujuan pendidikan ini sangat
berbeda sekali dengan yang dikemukakan oleh para cendekiawan Barat, semisalnya
Whitehead memahami pendidikan sebagai keterampilan menggunakan pengetahuan
(Park, 1960). Sedangkan menurut Adler, pendidikan meupakan proses dengan mana
semua kemampuan manusia yang dapat dipengaruhi oleh pembiasaan, disempurnakan
dengan keiasaan-kebiasaan yang baik, melalui sarana artistik dibuat dan dipakai
oleh siapaun untuk membantu orang lain atau dirinya (Arifin, 2003).
Kedua, Kurikulum pendidikan Islam.
Ketika membahasa kurikulum, Al-Attas membagi kurikulum pendidikan menjaid dua,
yakni pembelajaran yang bersifat fardhu ain dan fardu kifayah (Mulyadi, 19).
Namun secara garis besar beliau menekankan kurikulum menjaid empat, yakni: (1)
ilmu wajib yang dipelajari seperti Al-Quran, Fiqih dan Tafsir; (2) Ilmu yang
berguna bagi kehidupan dan kesejahteraan manusia, seperti ilmu matematika,
teknologi, politik dan kedokteran; (3) Ilmu yang tergolong ilmu penunjang
seperti tata bahasa dan cabang-cabangnya; (4) ilmu yang berkaitan dengan
kebudayaan seperti sejarah, filsafat dan cabang-cabangnya (Jalalludin, Said,
1994).
Ketiga, Metode. Al-Attas sengat
menekankan agar para pendidik dalam memberikan pembelajaran menggunakan metode
metafora dan cerita. Karena metode ini sering dibanyak dijumpai dalam Al-Quran
dan Hadist. Al-Atats menggunakan metafora cermin yang biasa dipakai oleh para
sufi pada masa lampau, untuk meyimbolkan dunia yang diciptakan ini sebagai
cerminan dari realitas absolut (Wan Daud, 1997).
Metode
metafora dan bercerita merupakan salah satu metode yang tidak lekang zaman.
Higga saat ini metoe tersebut dipakai oleh kalangan pendidik, termasuk para
pengajar di ISTAC, tempat Syed Naquib Al-Attas menghabiskan siswa umurnya.
Kesimpulan
Peradaban Islam pernah mengalami era
keemasan di zaman Bani Abbasiyah, terutama pada masa khalifah Harun Al-Rasyid.
Pada zaman itu Bayt Al-Hikmah menjadi pusat ilmu pengetahuan di seluruh penjuru
dunia hingga pada masanya peradaban Islam mulai mengalami penurunan.
Syed Naquib Al-Attas kemudian datang
dengan pemikiran progresifnya untuk mengembalikan keyayaan peradaban Islam,
yakni melalui Islamisasi Ilmu Pengetahuan.Kemudian menurut Al-Atats lagi,
Islamisasi Ilmu Pengetahuan secara spesifik dapat ditegakkan melalui implementasi
pendidikan Islam, yakni ta’dib.
Daftar
Pustaka
Aminah,
Nina.2015. Pola Pendidikan Islam Periode Khulafaur Rasyidin. Jurnal Tarbiya
Vol.1. No.1.
Al-Attas,
S. M. 1994. Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Rangka Pikir Pembnaan
Filsafat Pendidikan Islam. Bandung:Mizan.
Arifin, Muzayyin.2003. Filsafat Pendidikan Islam.
Jakarta: PT Bumi Aksara,
Aristyasari, Yunita Furi.2013. Pemikiran
Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas.Jurnal Hermenia, Vol. XIII,
No. 2,
Asari,
Hasan.2018. Sejarah Pendidikan Islam. Medan: Perdana Publishing
Asrohah,
Hanun.1999. Sejarah Pendidikan
Islam.Jakarta: Logos
Atmaja, Bagus Tris. 2011. Kebangkitan
Sains Islam, Kebangkitan Peradaban Islam. https://www.researchgate.net/publication/330313240
Bakar, Osman. 1994. Tauhid dan Sains.
Bandung: Pustaka Hidayah.
Erfinawati, Zuriatin, Rosdiana.2019. Sejarah
Pendidikan Islam pada Masa Khulafaur Rasyidin. Jurnal Pendidikan IPS Vol.9.
No.1, Januari-Juni 2019
Hafiddin, Hamim.2015. Pendidikan Islam
pada Masa Rasulullah. Jurnal Tarbiyah. Vol.1. No.1
Farabi, Mohamamd. 2013. Bayt Al-Hikmah:
Institusi Awal Pengembangan Tradisi Ilmiah Islam. Vol.37.No.1.
DOI:10.30821/miqot.v37i1.74
Hassan Sidiq, Amir. 1987. Studies In Islamic History,
Terjemahan HMJ. Irawan, Al Ma‟arif Bandung
Jalaluddin, Usman Said, Usman.1994. Filsafat
Pendidikan Islam.Jakarta: Rajawali Press
Joe Park,
1960. Selected Reading
in the Philosophy
of Education,
New
York: The Macmillan Company
Khairuddin. 2017. Sejarah Pendidikan
Islam. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN)
Sumatera Utara
Khairuddin.2018. Pendidikan Pada Masa
Dinasti Abbasiyah (Studi Analisis tentang Metode, Sistem, Kurikulum dan Tujuan
Pendidikan. Jurnal Ittihad, Vol II. No.1, Januari-Juni 2018.
M. Syarif, Muslim Thought (trans. M.
Fachruddin).2015.Bandung: Diponegoro
Mulyadi,
Achmad. 2018. Pemikiran Al-Khawarizmi dalam Meletakan Dasar Pengembangan Ilmu
Astronomi Islam. International Journal Ihya Ulum Al-Din Vol 20.No.1.
DOI:10.21580/ihya.20.1.278
Mulyadi.2019. Konsep Manusia dan
Pendidikan Islam Menurut syed Muhamamd Naquib Al-Attas. Jurnal
Al-Ikhtibar.Vol.6 No.1.Januari-Juni 2019. DOI:10.32505/ikhtibar.v6i1.603
Musayyidi, 2017. “Pemikiran Pendidikan
Islam Kontemporer Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas”, dalam Jurnal
Kariman, Vol. V, No. 2
Nanu, Rafiyanti Paramitha. 2021.
Pemikiran Syed Muhamamd Naquib Al-Attas Terhadap Pendidikan di Era Modern.
Jurnal Tarbawi Vol 06.No1, Januari-Juni 2021
Nasbi,
Ibrahim. 2016. Kemunduran Ilmu Pengetahuan dalam Dunia Islam. Jurnal Shaut
Al-Arabiyah. Vol.4.No.2, 2016
Novayani, Irma.2017. “Islamisasi Ilmu Pengetahuan Menurut Pandangan
Syed M. Naquib al-Attas Implikasi Terhadap Lembaga Pendidikan International
Institute Of Islamic Thought Civilization (ISTAC)”. Jurnal al-Muta’aliyah
STAI Darul Kamal NW Kembang kerang, Vol. I, No 1,
Nuryanti, Makhfira & Hakim, Lukman.
2020. Pemikiran Islam Modern Syed Muhamamd Naquib Al-Attas. Jurnal Substantia
Vol 22. No.1, April 2020.
Nur,
Abdullah.2019. Ibnu Sina: Pemikiran Filsafatnya Tentang Al-Fayd, Al-Nafs,
AlNubuwwah, dan Al-Wujud. Jurnal Hunafa Vol.6 No.1
Philip
K. Hitti, Philip K.1974. History of the
Arab’s .London: MacMillan
Rahimi.2021.
Pola Pendidikan Islam Pada Periode Dinasti Umayah. Jurnal Heuristik, Vol.1.No.1
Februari 2021
Ramayulis.(
2012). Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Rosyidi, Abdul
Wahab (2016) Sains dalam sejarah peradaban
Islam : Merunut akar-akar sains Islam sebagai dasar upaya pengembangan sains
dan teknologi di PTKIN. In: Membangun kembali peradaban Islam
prestisius. UIN-Maliki Press, Malang. ISBN 978-602-1190-82-1 UNSPECIFIED :
UNSPECIFIED.
Rahmawaty,
Rahim.2005. Metode, Sistem, Dan Materi
Pendidikan Dasar (Kuttab) Bagi Anak-anak Pada Masa Awal Daulah Abbasiyah (132
H/750 M- 232 H/847 M), Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta : CV. Kencana
Shalabi, Ahmad. (1972). Sejarah
Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang
Sholeh. 2017. Islamisasi Ilmu Pengetahuan
(Konsep Pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
Jurnal Al-Hikmah. Vol.14. No.2, Oktober 2017
Suwedi. (2004). Sejarah dan Pemikiran
Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Yasin, Rizqi fauzi.2017. Konsep Pendidikan
Islam Menurut Syed Muhamamd Naquib Al-Atats. Jurnal Pendidikan Islam Rabbani.
Vol.1. No.2
Yunus,
Mahmud. 1986. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Hirdakarya Agung.
Qardhawi,
Yusuf. 2005. Meluruskan Sejarah
Umat IslamJakarta: PT Raja Grafindo Persada
Wan Daud, Wan Mohd Nor.1997.Filsafat dan Praktik
Pendidikan Islam
Syed Muhammad Naquib Al Attas, Bandung: Pustaka
Wan Mohd Nor Wan Daud, 1998. Filsafat
dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, Terj. Hamid Fahmy dkk.
Bandung: Mizan
Zuhairini, et.al.2008. Sejarah Pendidikan
Islam. Jakarta: Bumi Aksara
Catatan: Artikel ini merupakan bagian dari tugas
Book Chapter mata kuliah AIK pada Porgram Magister Pedagogi UMM 2022