Gagasan Syed Naquib Al Attas dalam Islamisasi Ilmu dan Pendidikan Islam - Teras Academy
News Update
Loading...

1/21/2022

Gagasan Syed Naquib Al Attas dalam Islamisasi Ilmu dan Pendidikan Islam

Source:internet


Pendahuluan

Islam sebagai sebuah ‘tamaddun’ (peradaban), pernah mengalami masa pertumbuhan dan kemajuan hingga kemunduran. Pada abad ke-7, Islam menaruh perhatian terhadap ilmu pengetahuan pertama kalinya di Damaskus. Pada masa itu pusat ilmu pengetahuan Islam berpindah ke Baghdad dan di sanalah lahir para ilmuwan-ilmuwan muslim generasi awal dari pesantren, seperti Al-Khawarizmi dengan karyanya yang populer (Atmaja, 2011).

 

Selain Khawarizmi, pada abad ke8 hingga dengan abda-12 M, muncul tokoh-tokoh dan ilmuwan yang cerdas, aktif, dan handal, seperti Al-Kindi, Ibn Sina, Al Farabi, Al Biruni. Sayyed Hossein Nasr (1987) menyebut mereka sebagai figur-figur universal ilmu pengetahuan Islam.

 

Al-Khawarizmi salah satu ilmuwan dan filsuf muslim yang dikenal pada masa itu. Pemikiran Al-Khawarizmi dipengarhi oleh perkembangan astronomi yang telah berkembang sebelumnya. Karya-karyanya meliputi berbagai bidang disiplin llmu seperti matematika, astronomi geografi dan kartografi (Mulyadi, 2018).

 

Karya terbesarnya diantaranya adalah aljabar dan algoritma. Sedangkan Ibn Sina merupakan salah satu filsuf dan pakar kedokteran yang karya-karyanya yang selalu dikenang sepanjang zaman. Karya Ibnu Sina berjumlah 276, dan yang terkenal adalah As-Shifa. Al-Shifa merupakan buku filsafat yang terpenting dan terbesar dari Ibnu Sina, terdiri dari empat bagian yaitu logika, fisika, matematika, dan metafisika (Nur, 2009). Al kindi adalah seorang filsuf muslim, plymath (multi tasking), matematikawan, dan seorang dokter. Al Kindi dikenal sebagai bapak kriptografi.              

                                                                                                           

Selain telah melahirkan ilmuwan besar, pada masa kejayaannya peradapan Islam juga telah mentorehkan sebuah pusat pendidikan yang bernama Bayt Al-Hikmah. Menurut Philip K Hitti (1974), Bayt Al-Hikmah didirikan pada masa Dinasti Abbasiyah. Institusi ini bukan sekedar biro penerjemahan, tetapi sekaligus perpustakaan dan akademi pendidikan yang tinggi, yang dalam berbagai hal merupakan lembaga pendidikan yang paling penting di dunia Islam saat itu. Bayt al-Hikmah merupakan salah satu bukti Dinasti Abbasiyah berada pada zaman keemasan (Farabi, 2009).            

 

Jadi era keemasan Islam sangat ditentukan oleh faktor pendidikan. Pendidikan Islam dulu berkembang maju hingga menyumbang kebangkitan peradapan Islam. Peradaban Islam mulai menurun seiring dengan menurunnya pendidikan dan pemikiran Islam. Pemikiran keIslaman menurun setelah abad XIII M dan terus melemah sampai abad XVIII M (Syarif, 2015).

 

Diantara penyebab melemahnya pemikiran Keislaman antara lain: (1) Telah banyaknya filsafat Islam (yang bercorak sufistis) ke dunia Islam di Barat yang mengarah pada materialisme, (2) Umat Islam terutama para pemerintahannya melalaikan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, dan (3) Terjadinya pemberontakan yang dibarengi dengan serangan dari luar sehingga menimbulkan kehancuran-kehancuran yang mengakibatkan berhentinya kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan di dunia Islam (Syarif, 2015).                                                                                    

 

Mundurnya sains dan pendidikan Islam hari ini daat dilihat dari menurunnya peran intelektual serta institusi pendidikan Islam dalam memberikan kontribusi perkembangan ilmu pengetahuan. Salah satu contohnya diantaranya adalah tidak ada satupun perguruan tinggi Islam (atau yang dikelola oleh mayoritas penduduknya Muslim) yang masuk 50 besar dalam daftar perguruan tinggi terbaik dunia. Kita melihat Eropa dan Amerika mendominasi dengan mengirimkan perguruan tinggi terbaik mereka semisal Harvard, MIT, Yale, Cambridge, Oxford, dan ETH Zurich. Dalam daftar peraih nobelpun kita masih tertinggal jauh dan hanya mengirmkan sosok Profesor Abdussalam.                                             

 

Konteks pendidikan Islam hari ini, adalah kelanjutan kondisi zaman Islam yang sedang mundur dan sedang  dibangun  kembali dengan kondisi terbaru sesuai perkembangan zaman. Redesigned (format ulang) pendidikan Islam tanpa meninggalkan Islam sebagai dasar ideologis dan praksisnya. 

 

Syed Naquib Al-Attas termasuk tokoh dan pendidik yang mencoba meredesign pendidikan Islam itu. Makalah ini akan membedah pemikiran Al-Attas tentang konsep pendidikan dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Gagasan Al-Attas sangat relevan dengan kondisi saat ini.


Pembahasan

           

Beberapa penulis sejarawan Muslim membagi perkembangan pendidikan Islam menjadi lima fase: (1) Fase Kenabian, (2) Fase Khulafaur Rasyidin, (3) Fase Dinasti Umayah, (4) Fase Dinasti Abbasiyah, (5) Fase Kemunduran.                                                                                               

Pendidikan Islam pada masa Nabi Muhammad SAW terbagi menjadi dua periode, makkah dan Madinah. Pendidikan Islam pada masa itu berpedoman pada AlQuran dan Sunnah. Nabi Muhammad sebagai role model dan kurikulum, kebijakan serta cara penyampaian ilmu langsung disampaikan oleh rasul. Cara penyampaiannya sangat sederhana, yaitu dengan berhadap atau bertatap langsung antara pendidik dan peserta didik (Hafiddin, 2015).

 

Tema sentral yang disampaikan oleh Nabi Muhamad SAW pada masa Makkah adalah tentang Tauhid dan Akhlak. Pada amsa itu juga Nabi Muhammad mengajarkan Al-Quran karena AlQuran merupakan inti sari dan sumber pokok ajaran Islam (Zuhairini, et.al, 2008). Sedangkan pokok pendidikan Islam di Kota Madinah merupakan kelanjutan dari pendidikan Tauhid di Makkah, yaitu pembinaan di bidang pendidikan sosial dan politik (Hafiddin, 2015). Fase Madinah ini nabi Muhammad SAW mencoba meletakan pondasi konsep integral pendidikan Islam yang akan menjadi sumbu bagi kebangkitan peradapan Islam.         

                                              

Fase selanjutnya adalah masa Khulafaur Rasyidin )11-41H/632-661 M). Pendidikan Islam pada masa pemerintahan Abu Bakar As-Siddiq dan Umar Ibn Khattab mengalami kemajuan pesat, namun pada saat kepemimpinan Ustman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Tholib tidak berkembang (Erfinawati, Zuriatin, Rosdiana, 2019).

 

Pada fase ini para khalifah masih memusatkan perhatiannya pada pendidikan Islam, Syiar Agama, dan kokohnya agama Islam. Materi yang dicontohkan oleh Nabi SAW adalah: Pendidikan Tauhid, Pendidikan Shalat (Ibadah), Pendidikan Kepribadian, dan Pendidikan Hankam (Aminah, 2015). Kemudian Ramayulis (2012), menambahkan lembaga pendidikan di masa Abu Bakar mengalami peningkatan, baik segi kuantitas maupun kualitas. Pada masa Abu Bakar mulai muncul Kutab. Materi pendidikan yang diajarkan pada Kutab adalah: (1) Membaca dan menulis, (2) Membaca Al-Quran dan menghafalnya, (3) Pendidikan Keimanan, (4) Pendidikan akhlak, (5) Pendidikan ibadah, (6) Kesehatan (Yunus, 1989:18).                                                                                           

 

Selain Kutab, masjid juga berfungsi sebagai lembaga penyebar agama sekaligus mendidik para ulama. Masjid ada dua tingkatan, yaitu tingkat menengah dan tingkat tinggi. Menurut Fuad (dalam Erfinawati, Zuriatin, & Rosdiana, 2019) Yang membedakan antara keduanya adalah tingkat menengah, gurunya belum mencapai status ulama besar, sedangkan pada tingkat tinggi, para pengajarnya adalah ulama yang memiliki pengetahuan mendalam dan berintegritas kesalehan serta kealiman.            

                                                                                                                  

Kepemimpinan Khulafaur Rasyidin kemudian berpindah tangan kepada Dinasti Umayah (661-750 M). Pendiri dinasti ini adalah Muawwiyah Ibn Abi Sofyan yang berasal dari suku Quraisy keturunan Bani Umayah yang merupakan khalifah pertama. Pola pendidikan Islam masa Dinasti Umayah berkembang bila dibandingkan pada masa Khulafaur Rasyidin yang ditandai dengan semaraknya kegiatan ilmiah di Masjid dan berkembangnya Khutab serta majelis sastra (Rahimi, 2021).

 

Majelis sastra selain tempat berdiskusi juga tempat membahas masalah kesusasteraan dan politik. Penguasa Ummayah sangat perhatian pada pencatatan kaidah-kaidah nahwu, pemakaian Bahasa Arab dan mengumpulkan syair-syair Arab dalam bidang syariah, kitabah dan berkembangnya semi prosa (Salabi, 1972). Pada masa inilah usaha penerjemahan ilmu-ilmu ke dalam bahasa Arab mulai digalakan. Orang yang pertama kali melakukan penerjemahan adalah Khalid Ibn Zayid cucu dari Muawwiyah (Suwedi, 2004).                     

                       

Fase puncak kejayaan pendidikan Islam berada di tangan Bani Abbasiyah. Menurut Khairuddin (2018) popularitas Daulah Abbasiyah men-capai puncaknya di zaman khalifah Harun al-Rasyid (768-809 M) dan puteranya al- Ma’mun (813-833 M). Pada masa ini kejaan ilmu pengetahuan mencapai puncaknya karena didukung oleh kesadaran yang tinggi akan pentingnya ilmu pengetahuan. Menurut Yusuf Qardhawi (2005), mereka memahami bahwa sebuah kekuasaan tidak akan kokoh tanpa didukung oleh ilmu pengetahuan

                                                                                    

Pada masa Abbasiyah pengajaran yang diberikan kepada murid-murid dilakukan seorang demi seorang dan belum berkelas-kelas seperti saat ini. Guru mengajar muridnya berganti-ganti dan berhalaqoh (duduk bersila mengelilingi guru) (Rahmawati, 2005). Sedangkan metode pengajaran yang dipakai dikelompokkan menjadi tigas macam, yaitu lisanm hafalan, dan tulisan. Metode lisan bisa berupa dikte, ceramah, qira’ah, dan diskusi (Asrohah, 1999). Karya besar dinasti ini adalah pembangunan Bayt Al-Hikmah, dan menjadikan kota Baghdad menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

                                                                                                                     

Setelah Dinasti Abbasiyah runtuh, ilmu pengetahuan dan pendidikan Islam mengalami penurunan hingga saat ini. Menurunnya kejayaan Islam karena disebabkan banyak hal, seperti (1) banyaknya filsafat materialisme bermunculan, serta para pemimpin yang mulai melalaikan ilmu pengetahuan dan kebudayaan (Syarif, 2015), dan (2) Banyaknya pemberontakan serta umat Islam mengalami goncangan ekonomi, sosial dan politik (Nasbi, 2016).

 

Hingga banyak ilmuwan dan cendekiawan Muslim yang mencoba mengkaji akar kemunduran ilmu pengetahuan Islam serta mencoba untuk memberikan alternatif solusi, diantara mereka ada Jamal Al Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, Ismail Raji Al-Faruqi, Yusuf Qardhawi hingga Syed Naquib Al-Attas. Tokoh terakhir, Naquib Al-Attas mencoba secara mendetail melontarkan gagasan untuk mengembalikan lagi kejayaan ilmu pengetahuan Islam melalui Islamisasi Ilmu Pengetahuan serta Pendidikan Islam.

 

Gagasan Al-Attas

Islamisasi Ilmu Pengetahuan

           

Syed Muhammad Naquib Al Bin Ali-Al-Attas (lahir 5 September 1931) adalah seorang pendidik, filsuf, sastrawan, teolog, dan sejarawan Muslim Malaysia. Al-Attas adalah seorang penulis dua puluh tujuh karya tentang pemikiran dan peradaban Islam. Ia mengenyam pendidikan di University of Malaya, Mc Gill Kanada, dan University of London. Pada tahun 1987, mendirikan International Institute of Islamic Though and Civilisation (ISTAC) di Kuala Lumpur. Institusi ini berusaha membawa misi Islamisasi terintegrasi. Pada tahun 1977, menjabat sebagai Visiting Professor of Islamic di Temple University, Philadelphia. Satu tahun kemudian memimpin pertemuan para ahli sejarah Islam Unesco.                                               

                         

Yang melandasi pemikiran Syed Naquib Al-Attas adalah situasi kemunduran umat Islam dalam berbagai sistem kehidupan, terutama dalam dunia pendidikan dan perkembangan ilmu pengetahuan (Musayyidi, 2017). Musayyidi mengungkapkan lagi, perhatiannya yang sangat besar terhadap dunia pendidikan, membuatnya dikenal sebagai filosofi pendidikan (Musayyidi, 2017).

 

Dalam pandangan Al-Attas kemerosotan ilmu pengetahuan Islam terutama sekali berkaitan dengan epistemologi –epistemologi sains modern berpijak pada landasan pemisahan agama dalam ilmu pengetahuan (Nuryanti & Hakim, 2020). Menurut Al-Attas dalam Wan Daud (1998), ilmu pengetahuan yang ada saat ini adalah produk kebingungan dari skeptisme yang meletakkan keraguan dan spekulasi sederajat dengan metodologi ilmiah dan menjadikannya sebagai alat epistemologi yang valid dalam mencari kebenaran.

           

Kemudian dunia Islam saat ini terjadi westernisasi –pembaratan, mengadaptasi, meniru atau mengambil alih gaya hidup barat. Al-Attas  menggap perlunya dewesternisasi sebagai upaya pelepasan sesuatu dari proses pembaratan, atau memurnikan sesuatu dari pengaruh barat (Nuryanti & Hakim, 2020). Upaya dewesternisasi tidak akan signifikan bagi umat Islam bila tidak dilanjuti dengan gerakan Islamisasi (Nuryanti & Hakim, 2020). Islamisasi ilmu pengetahuan yang digencarkan oleh Al-Attas menurut Irma Novayani (2017) bertujuan agar perkembangan ilmu pengetahuan secara konseptual melalui ilmu pengetahuan agar tidak terlepas dari nilai spiritualitas dan transedensi ketuhanannya.                

           

Konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan menurut Al-Attas (dalam Sholeh, 2017) yaitu pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional yang bertentangan dengan Islam dan dari belenggu paham sekuler terhadap pemikiran dan bahasa juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil terhadap hakekat diri atau jiwanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa terhadap hakikat dirinya yang sebenarnya, dan berbuat adil terhadapnya.                                

                                                                 

Selain Al-Attas, cendekiawan penggagas Islamisasi Ilmu pengetahuan ada Ismail Al Faruqi dan Osman Bakar. Menurut Al-Faruqi (Sholeh, 2017:10) mendefinisikan Islamisasi Ilmu Pengetahuan adalah usaha untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikirkan kembali argume dan rasionalisasi yang berkaitan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan dan melakukan semua itu sedemikian rupa sehingga disiplin-disiplin ini memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi cita-cita. Osman Bakar, berpandangan Islamisasi Ilmu Pengetahuan adalah sebuah program yang berupaya memecahkan masalah-masalah yang timbul karena perjumpaan antara Islam dengan sains modern sebelumnya (Bakar, 1994)    

                               

Syed Naquib Al-atats menjelaskan proses Islamisasi ilmu bisa dilakukan dengan dua cara. Yang pertama, ialah melakukan proses pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat. Dari arti menjauhkan diri dari segala sesuatu yang menjadikan peluang-peluang terjadinya budaya yang menimbulkan sesuatu peradaban yang dihasilkan oleh orang-orang Barat. Misalnya, dalam budaya terdapat salah satu unsur budaya adalah bahasa. Bahasa memberi peluang terjadinya budaya yang menjadikan peradaban barat (Sholeh, 2017:10). Karena itu bagi Al-Atats bahasa juga perlu di Islamisasi.                      

                                                                                        

Yang kedua, menurut Al-Attas adalah memasukan elemen-elemen Islam dan konsep-konsep kunci ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan. Dalam arti konsep kedua ini, Al-Attas menindaklanjuti konsep yang pertama yakni dengan memasukan nilai-nilai Islam dalam unsur-unsur ilmu pengetahuan tersebut (Sholeh, 2017:11). Kemudian secara spesifik baginya Islamisasi Ilmu Pengetahuan dapat ditegakkan melalui implementasi pendidikan Islam.

 

Pendidikan Islam

           

Filsafat materialisme dan epistomologi Barat telah banyak mempengaruhi para cendekiawan hingga para pemimpin di negeri yang banyak dihuni oleh muslim. Puncaknya melahirkan sekularisme di tengah-tengah masyarakat. Tidak heran jika gaya hidup materialisme serta hidonisme menjadi virus yang mewabah. Syed Naquib Al-Attas melihat ini menjadi sebuah problem utama. Ditengah-tenga menggulirkan ide Islamisasi sains, Al-Attas di saat yang sama menggagas pendidikan modern yang diilhami dari world view Islam.

           

Dalam istilah Islam, pendidikan dikenal dengan tarbiyah, taklim, dan ta’dib. Al-Attas cenderung memilih Ta’dib (Novayani, 2017). Menurut Al-Attas (1994), pendidikan khas Islam merupakan pengenalan dan pengakua, secara berangsur-angsur ditanamkan di dalam diri manusia, mengenaik tempat-temat yang tepat dari segala sesuatu ke dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan akan kedudukan Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan kepribadian. Kunci dalam pendidikan modern saat ini menurut Al-Attas adalah ta’dib. Kata ta’dib berakar dari adab yang berarti pembinaan yang khas berlaku pada manusia (Nanu, 2021).

           

Al-Attas menjelaskan konsep adab. Adab ialah disiplin tubuh, jiwa dan ruh, disiplin menegaskan pengenalan dan pengakuan tempat yang tepat dalam hubungannya dengan kemampuan dan potensi jasmaniah, intelektual dan rohaniah; pengenalan dan pengakuan akan kenyataan bahwa ilmu dan wujud ditata secara hierarkis sesuai dengan berbagai tingkat (maratib) dan derajatnya (darajat) (Al-Attas, 1994). Konsep adab yang didefinisikan oleh Al-Attas sangat mendalam dan menyeluruh.             

 

Menurut Arisyasari (2013:8) tarbiyah dan ta’lim sekedar melibatkan aktivitas fisik (pengasuhan, pemeliharaan, perawatan, membesarkan) dan material (baik dengan harta maupun pengetahuan), dimana kedua istilah tersebutt lebih berorientasi pada konsep pendidikan Barat yang tidak melibatkan transenden (immateri). Berbeda dengan adab-ta’dib, sudah mengandung tarbiyah (pengasuhan yang baik), ta’lim (pengajaran), bahkan juga ilmu, kearifan, keadilan, kebijaksanaan, dan kebenaran (Nuryanti, & Hakim, 2020).

           

Gagasan Syed Naqib Al-Attas terbagi menjadi tiga kajian penting. Pertama, Tujuan Pendiidkan Islam. Menurut Al-Attas, pada prinsipnya penddikan itu bertujuan untuk melahirkan manusia yang baik, manusia adab atau Insan Kamil yang beriman dan bertaqwa kepada Allah swt sebagai khaliq sang penciptanya (Yasin, 2017). Nampak jelas bahwasannya tujuan pendidikan Al-Attas adalah melahirkan manusian Insan Kamil.

 

Tujuan ini tidak akan tercapai, jika meninggalkan Islam sabagai konsep World View. Tujuan pendidikan ini sangat berbeda sekali dengan yang dikemukakan oleh para cendekiawan Barat, semisalnya Whitehead memahami pendidikan sebagai keterampilan menggunakan pengetahuan (Park, 1960). Sedangkan menurut Adler, pendidikan meupakan proses dengan mana semua kemampuan manusia yang dapat dipengaruhi oleh pembiasaan, disempurnakan dengan keiasaan-kebiasaan yang baik, melalui sarana artistik dibuat dan dipakai oleh siapaun untuk membantu orang lain atau dirinya (Arifin, 2003).

           

Kedua, Kurikulum pendidikan Islam. Ketika membahasa kurikulum, Al-Attas membagi kurikulum pendidikan menjaid dua, yakni pembelajaran yang bersifat fardhu ain dan fardu kifayah (Mulyadi, 19). Namun secara garis besar beliau menekankan kurikulum menjaid empat, yakni: (1) ilmu wajib yang dipelajari seperti Al-Quran, Fiqih dan Tafsir; (2) Ilmu yang berguna bagi kehidupan dan kesejahteraan manusia, seperti ilmu matematika, teknologi, politik dan kedokteran; (3) Ilmu yang tergolong ilmu penunjang seperti tata bahasa dan cabang-cabangnya; (4) ilmu yang berkaitan dengan kebudayaan seperti sejarah, filsafat dan cabang-cabangnya (Jalalludin, Said, 1994).                                                                           

 

Ketiga, Metode. Al-Attas sengat menekankan agar para pendidik dalam memberikan pembelajaran menggunakan metode metafora dan cerita. Karena metode ini sering dibanyak dijumpai dalam Al-Quran dan Hadist. Al-Atats menggunakan metafora cermin yang biasa dipakai oleh para sufi pada masa lampau, untuk meyimbolkan dunia yang diciptakan ini sebagai cerminan dari realitas absolut (Wan Daud, 1997).

 

Metode metafora dan bercerita merupakan salah satu metode yang tidak lekang zaman. Higga saat ini metoe tersebut dipakai oleh kalangan pendidik, termasuk para pengajar di ISTAC, tempat Syed Naquib Al-Attas menghabiskan siswa umurnya.

 

Kesimpulan

           

Peradaban Islam pernah mengalami era keemasan di zaman Bani Abbasiyah, terutama pada masa khalifah Harun Al-Rasyid. Pada zaman itu Bayt Al-Hikmah menjadi pusat ilmu pengetahuan di seluruh penjuru dunia hingga pada masanya peradaban Islam mulai mengalami penurunan.

 

Syed Naquib Al-Attas kemudian datang dengan pemikiran progresifnya untuk mengembalikan keyayaan peradaban Islam, yakni melalui Islamisasi Ilmu Pengetahuan.Kemudian menurut Al-Atats lagi, Islamisasi Ilmu Pengetahuan secara spesifik dapat ditegakkan melalui implementasi pendidikan Islam, yakni ta’dib.

 

Daftar Pustaka

 

Aminah, Nina.2015. Pola Pendidikan Islam Periode Khulafaur Rasyidin. Jurnal Tarbiya Vol.1. No.1.

 

Al-Attas, S. M. 1994. Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Rangka Pikir Pembnaan Filsafat Pendidikan Islam. Bandung:Mizan.

 

Arifin, Muzayyin.2003. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara,

 

Aristyasari, Yunita Furi.2013. Pemikiran Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas.Jurnal Hermenia, Vol. XIII, No. 2,

Asari, Hasan.2018. Sejarah Pendidikan Islam. Medan: Perdana Publishing

 

Asrohah, Hanun.1999. Sejarah Pendidikan Islam.Jakarta: Logos

 

Atmaja, Bagus Tris. 2011. Kebangkitan Sains Islam, Kebangkitan Peradaban Islam. https://www.researchgate.net/publication/330313240

 

Bakar, Osman. 1994. Tauhid dan Sains. Bandung: Pustaka Hidayah.

 

Erfinawati, Zuriatin, Rosdiana.2019. Sejarah Pendidikan Islam pada Masa Khulafaur Rasyidin. Jurnal Pendidikan IPS Vol.9. No.1, Januari-Juni 2019

 

Hafiddin, Hamim.2015. Pendidikan Islam pada Masa Rasulullah. Jurnal Tarbiyah. Vol.1. No.1

 

Farabi, Mohamamd. 2013. Bayt Al-Hikmah: Institusi Awal Pengembangan Tradisi Ilmiah Islam. Vol.37.No.1. DOI:10.30821/miqot.v37i1.74

 

Hassan Sidiq, Amir. 1987. Studies In Islamic History, Terjemahan HMJ. Irawan, Al Maarif Bandung

Jalaluddin, Usman Said, Usman.1994. Filsafat Pendidikan Islam.Jakarta: Rajawali Press

 

Joe  Park,  1960. Selected  Reading  in  the  Philosophy  of  Education,

New  York:  The  Macmillan  Company

 

Khairuddin. 2017. Sejarah Pendidikan Islam. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara

 

Khairuddin.2018. Pendidikan Pada Masa Dinasti Abbasiyah (Studi Analisis tentang Metode, Sistem, Kurikulum dan Tujuan Pendidikan. Jurnal Ittihad, Vol II. No.1, Januari-Juni 2018.

 

M. Syarif, Muslim Thought (trans. M. Fachruddin).2015.Bandung: Diponegoro

 

Mulyadi, Achmad. 2018. Pemikiran Al-Khawarizmi dalam Meletakan Dasar Pengembangan Ilmu Astronomi Islam. International Journal Ihya Ulum Al-Din Vol 20.No.1. DOI:10.21580/ihya.20.1.278  

 

Mulyadi.2019. Konsep Manusia dan Pendidikan Islam Menurut syed Muhamamd Naquib Al-Attas. Jurnal Al-Ikhtibar.Vol.6 No.1.Januari-Juni 2019. DOI:10.32505/ikhtibar.v6i1.603

 

Musayyidi, 2017. “Pemikiran Pendidikan Islam Kontemporer Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas”, dalam Jurnal Kariman, Vol. V, No. 2

 

Nanu, Rafiyanti Paramitha. 2021. Pemikiran Syed Muhamamd Naquib Al-Attas Terhadap Pendidikan di Era Modern. Jurnal Tarbawi Vol 06.No1, Januari-Juni 2021

 

Nasbi, Ibrahim. 2016. Kemunduran Ilmu Pengetahuan dalam Dunia Islam. Jurnal Shaut Al-Arabiyah. Vol.4.No.2, 2016

 

Novayani, Irma.2017.  “Islamisasi Ilmu Pengetahuan Menurut Pandangan Syed M. Naquib al-Attas Implikasi Terhadap Lembaga Pendidikan International Institute Of Islamic Thought Civilization (ISTAC)”. Jurnal al-Muta’aliyah STAI Darul Kamal NW Kembang kerang, Vol. I, No 1,

 

Nuryanti, Makhfira & Hakim, Lukman. 2020. Pemikiran Islam Modern Syed Muhamamd Naquib Al-Attas. Jurnal Substantia Vol 22. No.1, April 2020.

 

Nur, Abdullah.2019. Ibnu Sina: Pemikiran Filsafatnya Tentang Al-Fayd, Al-Nafs, AlNubuwwah, dan Al-Wujud. Jurnal Hunafa Vol.6 No.1

 

Philip K. Hitti, Philip K.1974. History of the Arab’s .London: MacMillan

 

Rahimi.2021. Pola Pendidikan Islam Pada Periode Dinasti Umayah. Jurnal Heuristik, Vol.1.No.1 Februari 2021

Ramayulis.( 2012). Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.

 

Rosyidi, Abdul Wahab (2016) Sains dalam sejarah peradaban Islam : Merunut akar-akar sains Islam sebagai dasar upaya pengembangan sains dan teknologi di PTKIN. In: Membangun kembali peradaban Islam prestisius. UIN-Maliki Press, Malang. ISBN 978-602-1190-82-1 UNSPECIFIED : UNSPECIFIED.

 

Rahmawaty, Rahim.2005. Metode, Sistem, Dan Materi Pendidikan Dasar (Kuttab) Bagi Anak-anak Pada Masa Awal Daulah Abbasiyah (132 H/750 M- 232 H/847 M), Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta : CV. Kencana

 

Shalabi, Ahmad. (1972). Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang

 

Sholeh. 2017. Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Konsep Pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Jurnal Al-Hikmah. Vol.14. No.2, Oktober 2017

 

Suwedi. (2004). Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

 

Yasin, Rizqi fauzi.2017. Konsep Pendidikan Islam Menurut Syed Muhamamd Naquib Al-Atats. Jurnal Pendidikan Islam Rabbani. Vol.1. No.2

 

Yunus, Mahmud. 1986. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Hirdakarya Agung.

 

Qardhawi, Yusuf. 2005. Meluruskan Sejarah Umat IslamJakarta: PT Raja Grafindo Persada

 

Wan Daud, Wan Mohd Nor.1997.Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam

Syed Muhammad  Naquib Al Attas, Bandung: Pustaka

 

Wan Mohd Nor Wan Daud, 1998. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, Terj. Hamid Fahmy dkk. Bandung: Mizan

 

Zuhairini, et.al.2008. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara

 

Catatan: Artikel ini merupakan bagian dari tugas Book Chapter mata kuliah AIK pada Porgram Magister Pedagogi UMM 2022

Share with your friends

Give us your opinion

Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done