Implementasi Teori Kognitif Dalam Mewujudkan Keterampilan Abad 21 - Teras Academy
News Update
Loading...

1/21/2022

Implementasi Teori Kognitif Dalam Mewujudkan Keterampilan Abad 21

Sumber:https://ms.womanexpertus.com/


Pendahuluan

Abad 21 ditandai dengan abad keterbukaan, abad pengetahuan, globalisasi dan munculnya revolusi industri 4.0. Istilah revolusi indutri 4.0 diangkat dalam forum Hannover Fair pada tahun 2011. Konsep awal revolusi industri 4.0 pertama kali dikenalkan oleh Profesor Klaus Schwab. Menurut Klaus Schwab (2011), revolusi industri keempat, bagaimanapun bukan hanya tentang mesin dan sistem yang cerdas dan terhubung.

 

Cakupannya jauh lebih luas. Terjadi secara bersamaan adalah gelombang terobosan lebih lanjut di berbagai bidang mulai dari pengurutan gen hingga nanoteknologi, dari energi terbarukan hingga komputasi kuantum. Perpaduan teknologi ini dan interaksinya di seluruh domain fisik, digital, dan biologis yang membuat revolusi industri keempat berbeda dari revolusi sebelumnya.         

                                                                                                                    

Revolusi industri 4.0 yang ditemukan pada awal abad 21 diwarnai munculnya beberapa produk yang tidak pernah dipikirkan oleh manusia, seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence), super komputer, rekayasa genetika, mobil otomatis, dan inovasi. Perubahan tersebut terjadi dalam kecepatan eksponensial yang berdampak terhadap ekonomi, industri, dan politik (Satya, 2018). Dalam perkembanganya, revolusi industri 4.0 ini memberikan tantangan seklaaigus dampak bagi generasi bangsa Indonesia (Silfia, 2018).                                              


Menurut Agustini (2018:6) Revolusi industri 4.0 telah mengubah pola dan relasi antara manusia dengan mesin. Oleh karena itu, untuk menghadapi berbagai tantangan dan tuntutan pada abad global saat ini perlunya pembelajaran dan praktik di abad 21 untuk mempersiapkan generasi abad 21 yang berkualitas. Karena trend abad 21 lebih fokus pada spesialisasi tertentu, maka tujuan pendidikan nasional Indonesia harus diarahkan pada upaya membekali lulusan memiliki keterampilan abad 21 (Arnyana, 2019).

                                                                                                 

Lima domain utama keterampilan abad 21, diantaranya adalah literasi digital, pemikiran yang intensif, komunikasi efektif, produktifitas tinggi dan nilai spiritual serta moral (Osman, hiong, dan Vebrianto, 2013). Sedangkan Griffin & Care (2015) menggolongkan keterampilan dan sikap abad 21 sebagai ways to thinking  (knowledge, critical and creative thinking), ways to learning (literacy and softskills), dan ways to learning with other (personal, social, and civic responsibilities).

 


The Partership for 21st Century Learning (2015) mengembangkan visi belajar yang dikenal dengan The Framework for 21st Century Learning  yang berisi gagasan kerangka keterampilan, pengetahuan, dan keahlian yang harus dikuasai peserta didik.

 

4 Subyek keterampilan yang dibutuhkan pada abad 21 yaitu pemikiran kritis, komunikasi, kolaborasi, kreativitas. Di Indonesia konsep tersebut diterjemahkan menjadi 4 C (Zubaidah, 2018) yang meliputi: (1) Communication, (2) Collaboration, (3) Critical Thinking and Problem Solving, dan (4) Creative and Innovative.  

                                                                          

Mewujudkan keterampilan abad 21 tidaklah mudah. Ada banyak faktor mengapa pendidik kesulitan dalam mewujudkan keterampilan abad 21. Kebanyakan pembelajaran yang dilaksanakan masih berpusat pada pendidik (teacher-centered). Akibatnya, peserta didik tidak dapat menguasai keterampilan abad 21 secara optimal (Redhana, 2019). Masih banyak ditemui banyak pendidik masih menggunakan pendekatan tradisional.

 

Pendekatan tradisional yang menekankan hafalan dengan penerapan prosedur sederhana tidak akan mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi pada peserta didik (Arnyana, 2019). Problem lainnya adalah pendidik belum bisa mengoptimalkan penggunaan model pembelajaran.

 

Menurut Danial (2010), untuk mencapai kondisi belajar yang ideal, kualitas pengajaran selalu terkait dengan menggunaan model pembelajaran secara optimal, ini berarti bahwa untuk mencapai kualitas pengajaran yang tinggi setiap mata pelajaran harus diorganisasikan dengan model pengorganisasian yang tepat dan selanjutnya di sampaikan kepada siswa dengan model yang tepat pula.              

 

Dengan banyaknya problem tersebut, maka seorang pendidik dituntut untuk berinovasi. Dalam dunia pendidikan, kita mengenal dua teori belajar yang dominan, yakni teori belajar behavioristik dan kognitif. Teori belajar kognitif telah banyak digunakan oleh para pendidik dalam mewujudkan keerampilan abad 21. Melalui implementasi teori belajar kognitif, problem yang seringkali dijumpai dalam mewujudkan ketermpilan abad 21 dapat teratasi.                                                       


Teori belajar kognitif menjelaskan belajar dengan berfokus pada perubahan-perubahan proses mental internal yang digunakan dalam upaya memahami dunia eksternal. Proses tersebut digunakan mulai dari mempelajari tugas-tugas sederhana hingga yang kompleks (Jum, 2017). Fokus teori kognitif adalah potensi untuk berprilaku dan bukan pada prilakunya sendiri (Khodijah, 2014). Menurut Saam (2010), dalam teori kognitif peristiwa belajar merupakan proses internal atau mental manussia. Dalam teeori kognitif tingkah laku manusia yang tampak tidak bisa diukur dan diteranagkan tanpa melibatkan proses mental lain seperti motivasi, sikap, minat, dan kemauan.

                                                                                         

Pendidik menyakini bahwa keterampilan berpikir kritis, kolaborasi, komunikasi dab kreativitas dapat diwujudkan melalui pendekatan belajar kognitif, bukan melalui pendekatan behavioristik. Selain itu, teori belajar kognitif melahirkan beberapa pendekatan belajar, seperti Problem Based Learning (PBL), yang sering digunakan oleh pendidik lainnya dalam mewujudkan keterampilan abad 21. Terdapat paling sedikit empat teori belajar yang melandasi model Problem Based Learning, tyakni teori belajar Jean Piaget, David Ausubel, Vygotsky, dan Jerome Bruner (Abdullah & Ridwan, 2008).

 

Pembahasan


Keterampilan Abad 21

Dalam mengembangkan keterampilan abad 21, British Council memperkenalkan istilah Core Skills (keterampilan inti), meliputi keterampilan: critical thinking and problem solving, creativity and imagination, leadership, digital literacy, collaboration and comunication, dan Ciztienship (Ball, Joyce, & Butcher, 2016).  Qudrat Wisnu Aji (2019), menambahkan pembelajaran abad 21 secara sederhana diartikan sebagai pembelajaran yang memberikan kecakapan abad 21 kepada peserta didik, yaitu 4C yang meliputi: (1) Communication, (2) Collaboration, (3) Critical Thinking and Problem Solving, dan (4) Creative and Innovative                                                       

                                                        

Keempat keterampilan 4C tersebut adalah:Pertama, Communication Skill. Kemampuan berkomunikasi sangat dibutuhkan oleh semua orang agar mereka bisa berkembang dan eksis di tengah masyarakat. Keterampilan komunikasi bisa di asah sejak dini mulai dari jenjang pendidikan. Keterampilan komunikasi mengacu pada kemampuan individu untuk berkomunikasi dengan jelas, menggunakan bahasa lisan atau tertulis, verbal maupun non-verbal dan berkolaborasi secara efektif (Pasific Policy Reserach Center, 2010).

 

Keterampilan komunikasi merupakan proses perkembangan yang menuntut pengalaman, waktu, kesempatan, latihan-latihan keterampilan khusus dari seorang pembimbing. Dalam proses belajar mengajar, hendaknya seorang pendidik bisa menumbuhkan keterampilan komunikasi kepada peserta didik. Cara sederhananya, pendidik bisa menumbuhkan iklim demokrasi dalam kelas melalui kegiatan diskusi, tanya jawab, presenstasi dan brainstorming.

           

Kedua, Collaborative Skill. Sebuah masalah akan bisa dipecahkan dengan mudah jika pemecahannya dilakukan secara bersama-sama. Bahasa manajemennya adalah kolaborasi. Keterampilan kolaborasi bisa ditumbuhkan sejak dini melalui proses belajar mengajar dalam kelas. Mengapa seorang pendidik selalu membuat kelompok-kelompok belajar. Keterampilan kolaborasi adalah sebuah proses dalam belajar yang dilakukan secara bersama-sama untuk mengimbangi perbedaan pandangan, pengetahuan, berperan dalam diskusi dengan memberikan saran, mendegarkan, dan mendukung satu sama lain (Greinstien, 2012).

 

Peserta didik yang bekerja dalam kelompok-kelompok kecil cenderung belajar lebih banyak tentang materi ajar dan mengingatnya lebih lama dibandingkan jika materi ajar tersbeut dihadirkan dalam bentuk lain, misalnya dalam bentuk cermah, tanpa memandang bahan aharnya (Warsono, Hariyanto, 2012).

                                                                                   

Ketiga, Critical Thinking and Problem Solving. Menurut Matindas (1996), berpikir kritis adalah aktivitas mental yang dilakukan untuk mengevaluasi kebenaran sebuah pernyataan. Umumnya evaluasi berakhir dengan putusan untuk menerima, menyangkal, atau meragukan kebenaran pernyataan yang bersangkutan.

 

Wade (1995) mengidentifikasi delapan karakteristik berpikir kritis, yakni: (1) kegiatan merumuskan pertanyaan, (2) membatasi permasalahan, (3) menguji data-data, (4) menganalisis berbagai pendapat dan bias, (5) menghindari pertimbangan yang sangat emosional, (6) menghindari penyederhanaan berlebihan, (7) mempertimbangkan berbagai interpretasi, dan (8) mentoleransi ambiguitas. Menurut Angelo (1995) ada lima perilaku yang sistematis dalam berpikir kritis, diantaranya: (1) keterampilan menganalisis, (2) keterampilan mensintesis, (3) keteramplan mengenal dan memecahkan masalah, (4) keterampilan menyimpulkan, (5) keterampilan mengevaluasi atau menilai. Keterampilan berpikir kritis dan problem solving merupakan keterampilan dasar abad 21.        

                                               

Keempat, Creative and Innovative. Inovasi merupakan produk dari sebuah proses kreativitas. Munandar (2009) mendefinisikan kreativitas dengan kemampuan untuk mengkombinasikan, memecahkan atau menjawab masalah, dan cerminan kemampuan operasional anak kreatif. Menurut Siswono (2008) berpikir kreatif merupakan suatu kebiasaan dari pemikiran yang tajam dengan intuisi, menggerakan imajinasi, mengungkapkan (to reveal) kemungkinan-kemungkinan baru, membuka selubung (unveil) ide-ide yang menakjubkan dan inspirasi ide-ide yang tidak diharapkan.                                                                                                  

 

Menurut Simanjuntak (2019), Kreativitas merupakan proses berpikir metakognitif melalui emat tahapan yaitu: (1) persiapan (mengidentifikasi masalah), (2) inkubasi atau perenungan (menganalisis permasalahan dalam beberapa waktu), (3) illuminasi (tahap mendapatkan ide atau pemikiran baru), dan (4) verifikasi (tahap mengaplikasikan ide yang ditemukan). Jika seseorang bisa melalui keempat proses tersebut, maka kepercayaan diri creatif (creative confidence) pada diri seseorang akan muncul. Creative Confidence atau kepercayaan kreatif adalah tentang sebuah kepercayaan pada kemampuan diri sendiri untuk menciptakan perubahan di sekeliling (Kelley & Kelley, 2013)

 

Teori Belajar Kognitif

           

Salah satu kewajiban seorang pendidik adalah membekali diri mereka pemahaman teori pembelajaran. Teori pembelajaran dapat dijadikan sebagai dasar dalam pembelajaran sehingga diharapkan siswa dapat menerima pembelajaran yang akan kita sampaikan dengan baik (Nugroho, 2015). Selain itu, teori pembelajaran dapat digunakan oleh pendidik dalam memberikan keterampilan abad 21. Salah satu teori belajar yang dapat digunaan sebagai kerangka dasar dalam mengimplementasikan keterampilan abad 21 adalah teori belajar kognitif.                       

 

Teori belajar kognitif merupakan cikal bakal lahirnya pendekatan Problem Based Learning (PBL) yang sering dipakai oleh tenaga pendidik dalam mewujudkan keterampilan abad 21. Selain itu juga sintaks teori belajar kognitif sangat tepat dan mempunyai banyak kesamaan dalam komponen 4 C. Meskipun ada beberapa gagasan pendekatan pembejaran aliran behavioristik yang bisa diimplementasikan oleh pendidik dalam mewujudkan keterampilan abad 21.

 

Teori belajar kognitif adalah teori belajar yang lebih menekankan proses belajar dari pada hasil belajar. Tokoh-tokoh kognitivisme yaitu Jean Piaget, Jerome Brunne, Ausebel dan Robert M Gagne (Nurhadi, 2020).                                                                              

 

Menurut aliran kognitivisme, belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimlus dan respon sebagaimana dalam teori behaviorisme, lebih dari itu belajar dengan teori kognitivisme melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks (Nugroho, 2015).

 

Belajar adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pemahaman, tingkah laku keterampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif dan berbekas (Given, 2014:188).

 

Adapun ciri-ciri pokok dari aliran kognitivisme sebagai berikut: (1) mementingkan apa yang ada dalam diri manusia, (2) mementingkan keseluruhan dari pada bagian-bagian, (3) mementingkan peranan kognitif, (4) mementingkan kondisi waktu sekarang, (5) mementingkan pembentukan struktur kognitif (Nugoroho, 215:291).

 

Teori Kognitivisme Jean Piaget

           

Jean Piaget merupakan salah satu tokoh yang menemukan asal muasal logika alamiah dan transformasi dari satu bentuk penalaran ke penalaran lain (Gredler, 2011). Piaget juga pelopor dalam melakukan penelitian atas akar dari pemikiran logis pada bayi-anak-anak, termasuk juga jenis dan proses penalaran yang dilakukan anak kecil, remaja hingga dewasa.

                                                                     

Menurut Piaget (Santrock, 2008) proses kognitif terdiri dari skema, asimilasi dan akomodasi, organisasi, serta ekuilibrasi. Piaget menyatakan bahwa ketika anak berusaha membangun pemahamandunia, otak berkembang membentuk skema. Inilah tindakan atau representasi mental yang mengatur pengetahuan. Contoh skema, anak berusia 6 tahun mungkin mempunyai skema yang melibatkan strategi pengklasifikasian obyek menurut ukuran, bentuk atau warna hingga berkembang saat beranjak dewasa (Santrock, 2008:48).

 

Piaget menjelaskan konsep asimilasi dan akomodasi untuk menjelaskan bagaimana anak-anak menggunakan dan menyesuaikan informasi skema mereka. Asimilasi terjadi ketika anak-anak memasukan informasi mereka yang sudah ada. Akomodasi ketika anak menyesuaikan skema mereka agar sesuai dengan informasi dan pengalaman baru.                      

 

Sedangkan organisasi menurutnya, anak-anak mengatur pengalaman mereka secaa kognitif untuk mengratikan dunia mereka. Ekuilibrasi adalah mekanisme yang diajukan Piaget untuk menjelaskan bagaimana anak-anak beralih dari satu tahap pemikiran ke tahap berikutnya (Santrock, 2008:49).

 

Piaget juga meneliti tentang tahapan perkembangan. Dari penelitiannya, Piaget menyimpulkan bahwa perkembangan kognitif annak berjalan melalui rangkaian tetap. Pola operasi yang dapat dilakukan anak-anak dapat dikatakan sebagai level atau tahapan (Schunk, 2012:332). Piaget membaginya menjadi empat tahapan, yakni tahap sensori motorik, tahap pra-operasional, tahap operasional kongkrit, dan tahap operasional formal

     .                                                                                                          

Implikasi teori Piaget dalam dunia pendidikan adalah (Schunk, 2012: 336): (1) Pahami perkembangan kognitifnya. Guru akan mendapatkan keuntungan jika ia memahami pada level-level apa para siswanya menjalankan fungsinya. Guru dapat mencoba memastikan level-levenya dan menjalankan pengajaran mereka sesuai dengan hal itu; (2) Jaga agar Siswa tetap aktif. 

 

Anak-anak membutuhkan lingkungan yang kaya yang memberinya kesempatan ntuk bereksplorasi secara aktif dan menjalani kegiatan-kegiatan yang melibatkan partisiasi aktif mereka; (3) Ciptakan ketidaksesuaian. Perkembangan menurt Piaget terjadi ketika input, input lingkungan tidak sesuai dengan struktur-struktur kognitif siswa; dan (4) Memberikan interaksi sosial.

 

Lingkungan sosial tetap saja merupakan sumber bagi perkembangan kognitif. Kegiatan yang memberikan interaksi sosial akan bermanfaat. Belajar bahwa orang lain dapat memiliki sudut pandang yang berbeda-beda dapat membantu anak-anak untuk tidak egosentris.

 

Teori Kognitivisme Jerome Bruner

           

Jerome Bruner dikenal dengan belajar penemuan (Discovery Learning). Bruner mengganggap, bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberi hasil yang paling baik  (Trianto, 2017 : 38). Menurut Jerome Bruner, pembelajaran hendaknya dapat menciptakan situasi agar mahasiswa dapat belajar dari diri sendiri melalui pengalaman dan eksperimen untuk menemukan pengetahuan dan kemampuan baru yang khas baginya (Anidar, 2017).                                            

                                               

Bruner berpendapat bahwa kegiatan belajar akan berjalan baik dan kreatf jika siswa menemukan sendiri suatu aturan atau kesimpulan tertentu. Dalam hal ini Bruner (Syah, 2009) membedakan menjadi tiga tahap, yaitu: (1) Tahap informasi, yaitu tahap awal untuk memperoleh pengetahuan atau pengalaman baru, (2) Tahap transformasi, yaitu tahap memahami, mencerna dan menganalisis pengetahuan baru serta mentransformasikan dalam bentuk baru yang mungkin bermanfaat untuk hal-hal yang lain, dan (3) Tahap evaluasi, yaitu untuk mengetahui apakah hasil tranformasi pada tahap kedua tadi benar atau tidak.          

                                                           

Dalam dunia pendidikan gagasan Jerome Bruner berimplikasi pada startegi dalam proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, pendidik bisa menghadapkan anak-anak pada situasi masalah, kemudian mereka akan berusaha membandingkan realita di luar dirinya dengan model mental yang telah dimilikinya dan dengan pengalamannya anak akan mencoba menyesuaikan atau mengorganisasikan kembali struktur-struktur idenya dalam rangka untuk mencapai keseimbangan di dalam benaknya (Ibda, 2015).

 

Proses tersebut dinamakan dengan Discovery Learning. Discovery Learning memberikan kebebasan sampai batas-batas tertentu untuk menyelidiki, secara perorangan atau kelompok, dalam suatu tanya jawab dengan guru, atau oleh siswa, atau oleh siswa-siswa lain untuk memecahkan masalah yang diberikan oleh guru (Buto, 2011).

 

Teori kognitivisme Ausebel

           

David Ausebel menggagas konsep belajar bermakna. Proses belajar terjadi jika siswa mampu mengasimilasikan pengetahuan yang dimilikinya dengan pengetahuan baru (meaning full learning) (Nurhadi, 2020). Menurut Burhanuddin (1996) pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang.

 

Struktur kognitif meliputi fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa. Menurut Ausebel (Budiningsih, 2015) belajar terjadi melalui tahap-tahap: 1). Memperhatikan stimulus yang diberikan; 2). Memahami makna stimulus menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami; 3). Mening full leraning adalah suatu proses dikaitkannya.            

 

Konsep belajar bermakna landasan dari teori konstruktivistik. Dalam proses belajar seseorang mengkonstruksi apa yang telah ia pelajari dan mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru ke dalam struktur mereka (Rahmah, 2013). Langkah-langkah belajar bermakna menurut Ausubel (Rahmah, 2013) diantaranya: 1). Menentukan tujuan belajar; 2). Melakukan identifikasi karakteristik siswa; 3). Memilih materi pelajaran yang sesuai dengan karakterstik siswa dan mengaturnya dalam bentuk konsep-konsep inti; 4).

 

Menentukan topik-topik dan menampilkannya dalam bentuk advance organizer yang akan dipelajari siswa. Selain melahirkan teori konstruktivistk, impilkasi gagasan Ausebel adalah guru harus memiliki logika berfikir yang baik, agar dapat memilah-milah materi pembelajaran, merumuskannya dalam rumusan yang singkat, serta mengurutkan materi tersebut dalam struktur yang logis dan mudah dipahami (Mulyati, 2015:80).

 

Teori Kognitivisme Rober Gagne

           

Menurut Robert M Gagne, pembelajaran adalah seperangkat proses internal setiap individu sebagai hasil mentransformasi stimulus eksternal dalam lingkungan individu. Kondisi eksternal dapat dibuat lebih bermakna dengan mengorganisasikannya melalui metode, pengkondisian, atau perlakuan dalam urutan peristiwa pembejaran (Tung, 20150).

 

Pembelajaran menurut gagne hendaknya mampu menimbulkan peristiwa belajar dan proses kognitif (Warsita, 2008). Peristiwan pembelajaran (instructional events) adalah peristiwa dengan urutan: (1) Menimbulkan minat dan pemusatan perhatian, (2) menyampaikan tujuan pembelajaran, (3) Meningatkan kembali konsep yang telah dipelajari, (4) Menyampaikan materi pembelajaran, (5) Memberikan bimbingan atau pedoman untuk belajar, (6) Membangkitkan timbulnya unjuk kerja peserta didik, (7) Memberikan umpan balik tentang kebenaran, (8) Mengukur atau mengevaluasi hasil belajar, dan (9) Memperkuat retens dan transfer belajar (Miarso, 2004:245)            

 

Implikasi konsep gagne dalam pembelajaran diantaranya adalah: (1) Perlunya pendidik melakukan analisis instruksional yaitu proses menjabarkan perilaku umum menjadi perilaku khusus yang tersusun secara logis dan sistematis (Warsita, 2008), dengan melakkan analisis instruksional akan tergambar susunan perilaku khusus dari yang paling awal atau sederhana sampai yang paling akhir atau kompleks (Suparman 2004), dan (2) Pentingnya pendidik dalam memberi motivasi belajar, mengembangkan keaktifan dan keterlibatan langsung peserta didik, pengulangan, memberikan penguatan dan menciptakan lingkungan belajar khususnya media belajar (Warsita, 2008).

 

Pemikiran Gagne melahirkan beberapa tipe belajar, seperti belajar sinyal (signal learning), belajar stimulus respon (stimulus respone learning), belajar memecahkan masalah (problem solving learning), dan sebagainya.

           

Gagasan dari keempat tokoh penganut teori belajar kognitif di atas apa yang bisa dimanfaatkan oleh pendidik dalam mewujudkan keterampilan abad 21 atau 4 C?. Jawabanyan penulis rangkum ke dalam tabel di bawah ini.

 

Kesimpulan

           

Dalam teori belajar kognitif  proses belajar lebih penting dari pada hasil. Proses belajar seseorang tidak hanya cenderung pada hubungan stimulus dan respon, melainkan juga bagaimana perilaku seseorang dalam mecapai tujuan belajar. Tokoh-tokoh kognitivisme seperti Jean Piaget, Jerome Brunne, Ausebel dan Robert M Gagne telah melahirkan gagasan pendekatan belajar, seperti Problem Based Learning (PBL), Advanced Organizer Visual, Konstruktivistik. Kesemuanya dapat digunakan oleh guru dalam mewujudkan keterampilan abad 21.

 

Daftar Pustaka

 

Abdullah, Ade Gafar & Ridwan, Taufik. 2008.  Implementasi Problem Based

Learning (PBL) Pada Proses Pembelajaran di BPTP Bandung. Jurnal

Penelitian pendidikan. Vol. V No.13 Agustus 2008.


Aji, Muhamad QW. 2019. Mengembangkan Kecakapan Abad 21 Mahasiswa Melalui Model Pembelajaran Inkuiri. Jurnal Teknodika. Vol 17. No.2. 02 September 2019


Agustini, K. L. (2018). Persaingan Industri 4.0 di ASEAN: Dimana Posisi Indonesia. Yogyakarta: Forbil Institute.Anggo, M.


Ahlah, Melianah. (2020). Membangun Karakter Siswa Melalui Literasi Digital Dalam Menghadapi Pendidikan Abad 21 Era Society 5.0. In Prosiding Seminar Nasional Program Pascasarjana Universitas PGRI Palembang, 805-814.

Angelo, T. A. (1995). Beginning the dialogue: thoughts on promoting critical.thinking: classroom assegment for critical thinking. Teaching of phychology, 22(1), 6-7

Anidar, Jum. 2017. Teori Belajar Menurut Aliran Kognitif Serta Implikasinya Dalam Pembelajaran. Jurnal Al Taujih. Vol.3, No.2 2017

Arnyana, I.B.P. 2018. Pembelajaran Sains 4,0 Prosiding Seminar Nasional MIPA.

Arnyana, I.B.P. 2019. Pembelajaran Untuk Meningkatkan Kompetensi 4C (Communication, Collaboration, Critical Thinking dan Creative Thinking) Untuk Menyongsong era Abad 21. Vol.1 No.1: Prosiding Konferensi Nasional Matematika dan IPA Universias PGRI Banyuwangi

Ball, A., Joyce, H. D., & Butcher, D. A. (2016). Exploring 21st century skills and learning environments for middle school youth. International Journal of School Social Work, 1(1), 1-25.


Budiningsih, Asri. 2015. Belajar dan pembelajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Buto, Zulfikar Ali. 2012. Implikasi Teori Pembelajaran Jerome Bruner Dalam Nuansa Pendidikan Modern. Jurnal Millah Edisi Khusus Desember. DOI: 10.20885/millah.ed.khus.art3

Danial, M. (2010). Pengaruh Strategi Pembelajaran PBL dan GI terhadap Metakognisi dan Penguasaan Konsep Kimia Dasar Mahasiswa Jurusan Biologi FMIPA UNM. Disertasi tidak diterbitkan. Program Pasca Sarjana (S3) Universitas Negeri Malang.

Frasandy, Rendy N, Septikasari, Resti. 2018. Keteramplan 4C Abad 21 Dalam Pembelajaran Pendidikan Dasar. Jurnal Tarbiyah Al-Awlad. Vol.VIII. Edisi 02 2018.

Given. K. Barbara. 2014. Brain-Based Teaching. Merancang kegiatan belajar mengajar yang melibatkan Otak, Emosional, Sosial, Kognitif, Kinestetik, dan Reflektif. Kaifa. Bandung.


Gredler, Margaret E. 2011. Learning and Instruction: Teori dan Aplikasi: Edisi Keenam.

Greenstein, L. (2012). Assessing 21st Century Skills: A Guide to Evaluating Mastery and Authentic Learning. California: Corwin, A Sage Company.

Griffin, P., & Care, E. (2015). Assessment And Teaching of 21st Century Skills: Methods and Approach. Dodrecht:Springer Business Media.

Hasibuan, Prastowo. (2019). Konsep Pendidikan Abad 21: Kepemimpinan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia SD/MI. Jurnal MAGISTRA, 10(1), 26-50.

Ibda, Fatimah. 2015. Perkembangan Kognitif: Teori Jean Piaget. Jurnal intelektualita. Vol.3, No.1, Januari-Juni 2015


Kelley, David & Kelley, Tom, 2013. Creative Confidence: Unleashing the Creative Potential Within Us All. Newyork: Harer Collins Publishers

Khodijah, Nyayu, 2014, Psikologi Pendidikan. Jakarta : Raja Grafindo Persada

Matindas.R. (1996). Berfkir Kritis dan Pengembangannya. (tersedia online). http://didin-uninus.blogspot.co.id/2008/03/berpikir-kritis-danpengembangannya.html. (diakses pada tanggal 16 Mei 2017)

Miarso, Yusufhadi. 2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, Jakarta: Penerbit Prenada Media

Mulyati. 2015. Psikologi Belajar. Yogyakarta: Andi Ofset.

Munandar, U. 2009. Perkembangan Kreativitas anak berbakat. Jakarta: Rineka Cipta.

Nugroho, Puspo. 2015. Pandangan Kognitifisme Dan Aplikasinya Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Anak Usia Dini. ThufuLA: Jurnal Inovasi Pendidikan Islam Anak Usia Dini. Vol. 3 | No. 2 | Juli-Desember.


Nurhadi.2020. Teori Kognitivisme Serta Aplikasinya Dalam Pembelajaran. Jurnal Edukasi dan Sains. Vol.2, No.1, juni 2020:77-95

Osman, K., Hiong, L. C., & Vebrianto, R. (2013). 21st century biology: an interdisciplinary approach of biology, technology, engineering

Pacific Policy Research Center. (2010). 21st Century Skills for Students and Teachers. Honolulu: Kamehameha Schools, Research & Evaluation Division

Rahmah, Nur. 2013. Belajar Bermakna Ausubel. Jural Al-Khawarizmi. Vol.I, Maret 2013.


Redhana, I. W. (2019). Mengembangkan keterampilan abad ke-21 dalam pembelajaran Kimia. Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, 13(1).


Saam, Zulfan. 2010. Psikologi Pendidikan. Pekanbaru: UR Press.


Santrck, John W.2008. Educational Psychology, ed3th. New York. McGraw Hill


Satya, V. E. (2018) Strategi Indonesia Menghadapi Industri 4.0. Jurnal Kajian terhadap Isu Aktual Dan Strategis.X(09) hal. 19-25


Schunk, Dale H.2012. Learing Theories An Educational Perspective. London: Pearson Education


Schwab, klaus. 2016.The Fourth Industrial Revolustion. Switzerland: World Economic Forum

Silfia, Mira.2018. Penguatan Pendidikan Karakter Dalam Menghadapi Era Revolusi Industri 4.0. Prosiding Seminar Nasional Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Vol 2 Tahun 2018, hal 642 – 645


Simanjuntak, Maria Dewi R. 2019. Membangun Keterampilan 4C Siswa Dalam Menghadapi Revolusi Industri 4.0. Prosiding Seminar Nasional Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Vol 3, Tahun 2019, hal 921 – 929


Siswono, Tatag Yuli E. 2008. Proses Berpikir Kreatif Siswa Dalam Memecahkan Dan Mengajukan Masalah Matematika. Jurnal Ilmu Pendidikan. Vol.15, No.1


Suparman, M. Atwi. 2004. Desain Instruksional, Jakarta: Penerbitan Universitas Terbuka


Syah, Muhibbin, 2009, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung: Remaja Rosda Karya


The Partnership for 21st Century Learning. (2015). P21 Framework Definitions. Diakses 3 November 2015 dari http://www.p21.org/storage/docume nts/docs/P21_Framework_Definitions_New_Logo_2015


Trianto.2017.Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, Progresif, dan Kontekstual: Konsep Landasan, dan Implementasi pada Kurikulum 2013. Jakarta: Kencana


Tung, Khoe Y.2015. Pembelajaran dan Perkembangan Belajar. Jakarta:Indeks


Wade, C. 1995. Using writing to Develop and Assess Critical Thinking. Teaching of Psychology, 22 (1), 24-28.


Warsita, Bambang.2008. Teori Belajar Robert M Gagne dan Implikasinya Pada Pentingnya Pusat Sumber Belajar. Jurnal Teknodik. Vol.12. No.1, juni 2008. https://doi.org/10.32550/teknodik.v12i1.421


Warsono & Hariyanto. 2012. Pembelajaran Aktif: Teori dan Asesmen. Bandung: Remaja Rosda karya


Zubaidah,, Siti. 2018. Mengenal 4C: learning And Innovation Skills untuk Menghadapi Era Revolusi Industri 4.0.1. Makalah Disampaikan pada Seminar “2nd Science Education National Conference” di Universitas Trunojoyo Madura

Share with your friends

Give us your opinion

Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done