Sumber:https://ms.womanexpertus.com/ |
Pendahuluan
Abad 21 ditandai dengan abad
keterbukaan, abad pengetahuan, globalisasi dan munculnya revolusi industri 4.0.
Istilah revolusi indutri 4.0 diangkat dalam forum Hannover Fair pada tahun
2011. Konsep awal revolusi industri 4.0 pertama kali dikenalkan oleh Profesor Klaus Schwab. Menurut Klaus Schwab (2011), revolusi industri keempat,
bagaimanapun bukan hanya tentang mesin dan sistem yang cerdas dan terhubung.
Cakupannya jauh lebih luas. Terjadi secara bersamaan adalah gelombang terobosan lebih lanjut di berbagai bidang mulai dari pengurutan gen hingga nanoteknologi, dari energi terbarukan hingga komputasi kuantum. Perpaduan teknologi ini dan interaksinya di seluruh domain fisik, digital, dan biologis yang membuat revolusi industri keempat berbeda dari revolusi sebelumnya.
Revolusi industri 4.0 yang ditemukan pada awal abad 21 diwarnai munculnya beberapa produk yang tidak pernah dipikirkan oleh manusia, seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence), super komputer, rekayasa genetika, mobil otomatis, dan inovasi. Perubahan tersebut terjadi dalam kecepatan eksponensial yang berdampak terhadap ekonomi, industri, dan politik (Satya, 2018). Dalam perkembanganya, revolusi industri 4.0 ini memberikan tantangan seklaaigus dampak bagi generasi bangsa Indonesia (Silfia, 2018).
Menurut Agustini (2018:6) Revolusi industri 4.0 telah mengubah pola dan relasi antara manusia dengan mesin. Oleh karena itu, untuk menghadapi berbagai tantangan dan tuntutan pada abad global saat ini perlunya pembelajaran dan praktik di abad 21 untuk mempersiapkan generasi abad 21 yang berkualitas. Karena trend abad 21 lebih fokus pada spesialisasi tertentu, maka tujuan pendidikan nasional Indonesia harus diarahkan pada upaya membekali lulusan memiliki keterampilan abad 21 (Arnyana, 2019).
Lima domain utama keterampilan abad 21,
diantaranya adalah literasi digital, pemikiran yang intensif, komunikasi
efektif, produktifitas tinggi dan nilai spiritual serta moral (Osman, hiong,
dan Vebrianto, 2013). Sedangkan Griffin & Care (2015) menggolongkan
keterampilan dan sikap abad 21 sebagai ways
to thinking (knowledge, critical and creative thinking), ways to learning (literacy
and softskills), dan ways to learning
with other (personal, social, and
civic responsibilities).
The
Partership for 21st Century Learning
(2015) mengembangkan visi belajar yang dikenal dengan The Framework for 21st Century Learning yang berisi gagasan kerangka keterampilan,
pengetahuan, dan keahlian yang harus dikuasai peserta didik.
4 Subyek keterampilan yang dibutuhkan pada abad 21 yaitu pemikiran kritis, komunikasi, kolaborasi, kreativitas. Di Indonesia konsep tersebut diterjemahkan menjadi 4 C (Zubaidah, 2018) yang meliputi: (1) Communication, (2) Collaboration, (3) Critical Thinking and Problem Solving, dan (4) Creative and Innovative.
Mewujudkan keterampilan abad 21
tidaklah mudah. Ada banyak faktor mengapa pendidik kesulitan dalam mewujudkan
keterampilan abad 21. Kebanyakan pembelajaran yang dilaksanakan masih berpusat
pada pendidik (teacher-centered).
Akibatnya, peserta didik tidak dapat menguasai keterampilan abad 21 secara
optimal (Redhana, 2019). Masih banyak ditemui banyak pendidik masih menggunakan
pendekatan tradisional.
Pendekatan tradisional yang menekankan
hafalan dengan penerapan prosedur sederhana tidak akan mengembangkan
keterampilan berpikir tingkat tinggi pada peserta didik (Arnyana, 2019).
Problem lainnya adalah pendidik belum bisa mengoptimalkan penggunaan model
pembelajaran.
Menurut Danial (2010), untuk mencapai
kondisi belajar yang ideal, kualitas pengajaran selalu terkait dengan
menggunaan model pembelajaran secara optimal, ini berarti bahwa untuk mencapai
kualitas pengajaran yang tinggi setiap mata pelajaran harus diorganisasikan
dengan model pengorganisasian yang tepat dan selanjutnya di sampaikan kepada
siswa dengan model yang tepat pula.
Dengan banyaknya problem tersebut, maka seorang pendidik dituntut untuk berinovasi. Dalam dunia pendidikan, kita mengenal dua teori belajar yang dominan, yakni teori belajar behavioristik dan kognitif. Teori belajar kognitif telah banyak digunakan oleh para pendidik dalam mewujudkan keerampilan abad 21. Melalui implementasi teori belajar kognitif, problem yang seringkali dijumpai dalam mewujudkan ketermpilan abad 21 dapat teratasi.
Teori belajar kognitif menjelaskan belajar dengan berfokus pada perubahan-perubahan proses mental internal yang digunakan dalam upaya memahami dunia eksternal. Proses tersebut digunakan mulai dari mempelajari tugas-tugas sederhana hingga yang kompleks (Jum, 2017). Fokus teori kognitif adalah potensi untuk berprilaku dan bukan pada prilakunya sendiri (Khodijah, 2014). Menurut Saam (2010), dalam teori kognitif peristiwa belajar merupakan proses internal atau mental manussia. Dalam teeori kognitif tingkah laku manusia yang tampak tidak bisa diukur dan diteranagkan tanpa melibatkan proses mental lain seperti motivasi, sikap, minat, dan kemauan.
Pendidik menyakini bahwa keterampilan
berpikir kritis, kolaborasi, komunikasi dab kreativitas dapat diwujudkan
melalui pendekatan belajar kognitif, bukan melalui pendekatan behavioristik.
Selain itu, teori belajar kognitif melahirkan beberapa pendekatan belajar,
seperti Problem Based Learning (PBL),
yang sering digunakan oleh pendidik lainnya dalam mewujudkan keterampilan abad
21. Terdapat paling sedikit empat teori belajar yang melandasi model Problem Based Learning, tyakni teori
belajar Jean Piaget, David Ausubel, Vygotsky, dan Jerome Bruner (Abdullah &
Ridwan, 2008).
Pembahasan
Keterampilan Abad 21
Dalam mengembangkan keterampilan abad 21, British Council memperkenalkan istilah Core Skills (keterampilan inti), meliputi keterampilan: critical thinking and problem solving, creativity and imagination, leadership, digital literacy, collaboration and comunication, dan Ciztienship (Ball, Joyce, & Butcher, 2016). Qudrat Wisnu Aji (2019), menambahkan pembelajaran abad 21 secara sederhana diartikan sebagai pembelajaran yang memberikan kecakapan abad 21 kepada peserta didik, yaitu 4C yang meliputi: (1) Communication, (2) Collaboration, (3) Critical Thinking and Problem Solving, dan (4) Creative and Innovative
Keempat keterampilan 4C tersebut
adalah:Pertama, Communication Skill.
Kemampuan berkomunikasi sangat dibutuhkan oleh semua orang agar mereka bisa
berkembang dan eksis di tengah masyarakat. Keterampilan komunikasi bisa di asah
sejak dini mulai dari jenjang pendidikan. Keterampilan komunikasi mengacu pada
kemampuan individu untuk berkomunikasi dengan jelas, menggunakan bahasa lisan
atau tertulis, verbal maupun non-verbal dan berkolaborasi secara efektif
(Pasific Policy Reserach Center, 2010).
Keterampilan komunikasi merupakan
proses perkembangan yang menuntut pengalaman, waktu, kesempatan,
latihan-latihan keterampilan khusus dari seorang pembimbing. Dalam proses
belajar mengajar, hendaknya seorang pendidik bisa menumbuhkan keterampilan
komunikasi kepada peserta didik. Cara sederhananya, pendidik bisa menumbuhkan
iklim demokrasi dalam kelas melalui kegiatan diskusi, tanya jawab, presenstasi
dan brainstorming.
Kedua,
Collaborative Skill. Sebuah masalah
akan bisa dipecahkan dengan mudah jika pemecahannya dilakukan secara
bersama-sama. Bahasa manajemennya adalah kolaborasi. Keterampilan kolaborasi
bisa ditumbuhkan sejak dini melalui proses belajar mengajar dalam kelas.
Mengapa seorang pendidik selalu membuat kelompok-kelompok belajar. Keterampilan
kolaborasi adalah sebuah proses dalam belajar yang dilakukan secara
bersama-sama untuk mengimbangi perbedaan pandangan, pengetahuan, berperan dalam
diskusi dengan memberikan saran, mendegarkan, dan mendukung satu sama lain
(Greinstien, 2012).
Peserta didik yang bekerja dalam
kelompok-kelompok kecil cenderung belajar lebih banyak tentang materi ajar dan
mengingatnya lebih lama dibandingkan jika materi ajar tersbeut dihadirkan dalam
bentuk lain, misalnya dalam bentuk cermah, tanpa memandang bahan aharnya
(Warsono, Hariyanto, 2012).
Ketiga,
Critical Thinking and Problem Solving.
Menurut Matindas (1996), berpikir kritis adalah aktivitas mental yang dilakukan
untuk mengevaluasi kebenaran sebuah pernyataan. Umumnya evaluasi berakhir
dengan putusan untuk menerima, menyangkal, atau meragukan kebenaran pernyataan
yang bersangkutan.
Wade (1995) mengidentifikasi delapan
karakteristik berpikir kritis, yakni: (1) kegiatan merumuskan pertanyaan, (2)
membatasi permasalahan, (3) menguji data-data, (4) menganalisis berbagai
pendapat dan bias, (5) menghindari pertimbangan yang sangat emosional, (6)
menghindari penyederhanaan berlebihan, (7) mempertimbangkan berbagai
interpretasi, dan (8) mentoleransi ambiguitas. Menurut Angelo (1995) ada lima
perilaku yang sistematis dalam berpikir kritis, diantaranya: (1) keterampilan
menganalisis, (2) keterampilan mensintesis, (3) keteramplan mengenal dan
memecahkan masalah, (4) keterampilan menyimpulkan, (5) keterampilan
mengevaluasi atau menilai. Keterampilan berpikir kritis dan problem solving
merupakan keterampilan dasar abad 21.
Keempat,
Creative and Innovative. Inovasi
merupakan produk dari sebuah proses kreativitas. Munandar (2009) mendefinisikan
kreativitas dengan kemampuan untuk mengkombinasikan, memecahkan atau menjawab
masalah, dan cerminan kemampuan operasional anak kreatif. Menurut Siswono (2008)
berpikir kreatif merupakan suatu kebiasaan dari pemikiran yang tajam dengan
intuisi, menggerakan imajinasi, mengungkapkan (to reveal) kemungkinan-kemungkinan baru, membuka selubung (unveil) ide-ide yang menakjubkan dan
inspirasi ide-ide yang tidak diharapkan.
Menurut Simanjuntak (2019), Kreativitas
merupakan proses berpikir metakognitif melalui emat tahapan yaitu: (1)
persiapan (mengidentifikasi masalah), (2) inkubasi atau perenungan
(menganalisis permasalahan dalam beberapa waktu), (3) illuminasi (tahap
mendapatkan ide atau pemikiran baru), dan (4) verifikasi (tahap mengaplikasikan
ide yang ditemukan). Jika seseorang bisa melalui keempat proses tersebut, maka
kepercayaan diri creatif (creative confidence) pada diri seseorang akan muncul. Creative Confidence atau
kepercayaan kreatif adalah tentang sebuah kepercayaan pada kemampuan diri
sendiri untuk menciptakan perubahan di sekeliling (Kelley & Kelley, 2013)
Teori
Belajar Kognitif
Salah satu kewajiban seorang pendidik
adalah membekali diri mereka pemahaman teori pembelajaran. Teori pembelajaran
dapat dijadikan sebagai dasar dalam pembelajaran sehingga diharapkan siswa
dapat menerima pembelajaran yang akan kita sampaikan dengan baik (Nugroho,
2015). Selain itu, teori pembelajaran dapat digunakan oleh pendidik dalam
memberikan keterampilan abad 21. Salah satu teori belajar yang dapat digunaan
sebagai kerangka dasar dalam mengimplementasikan keterampilan abad 21 adalah
teori belajar kognitif.
Teori belajar kognitif merupakan cikal
bakal lahirnya pendekatan Problem Based
Learning (PBL) yang sering dipakai oleh tenaga pendidik dalam mewujudkan
keterampilan abad 21. Selain itu juga sintaks teori belajar kognitif sangat
tepat dan mempunyai banyak kesamaan dalam komponen 4 C. Meskipun ada beberapa gagasan
pendekatan pembejaran aliran behavioristik yang bisa diimplementasikan oleh
pendidik dalam mewujudkan keterampilan abad 21.
Teori belajar kognitif adalah teori
belajar yang lebih menekankan proses belajar dari pada hasil belajar.
Tokoh-tokoh kognitivisme yaitu Jean Piaget, Jerome Brunne, Ausebel dan Robert M
Gagne (Nurhadi, 2020).
Menurut aliran kognitivisme, belajar
tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimlus dan respon sebagaimana dalam
teori behaviorisme, lebih dari itu belajar dengan teori kognitivisme melibatkan
proses berpikir yang sangat kompleks (Nugroho, 2015).
Belajar adalah suatu proses usaha yang
melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari
proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan
dalam bentuk pemahaman, tingkah laku keterampilan dan nilai sikap yang bersifat
relatif dan berbekas (Given, 2014:188).
Adapun ciri-ciri pokok dari aliran
kognitivisme sebagai berikut: (1) mementingkan apa yang ada dalam diri manusia,
(2) mementingkan keseluruhan dari pada bagian-bagian, (3) mementingkan peranan
kognitif, (4) mementingkan kondisi waktu sekarang, (5) mementingkan pembentukan
struktur kognitif (Nugoroho, 215:291).
Teori
Kognitivisme Jean Piaget
Jean Piaget merupakan salah satu tokoh yang menemukan asal muasal logika alamiah dan transformasi dari satu bentuk penalaran ke penalaran lain (Gredler, 2011). Piaget juga pelopor dalam melakukan penelitian atas akar dari pemikiran logis pada bayi-anak-anak, termasuk juga jenis dan proses penalaran yang dilakukan anak kecil, remaja hingga dewasa.
Menurut Piaget (Santrock, 2008) proses
kognitif terdiri dari skema, asimilasi dan akomodasi, organisasi, serta
ekuilibrasi. Piaget menyatakan bahwa ketika anak berusaha membangun
pemahamandunia, otak berkembang membentuk skema. Inilah tindakan atau
representasi mental yang mengatur pengetahuan. Contoh skema, anak berusia 6
tahun mungkin mempunyai skema yang melibatkan strategi pengklasifikasian obyek
menurut ukuran, bentuk atau warna hingga berkembang saat beranjak dewasa
(Santrock, 2008:48).
Piaget menjelaskan konsep asimilasi dan
akomodasi untuk menjelaskan bagaimana anak-anak menggunakan dan menyesuaikan
informasi skema mereka. Asimilasi terjadi ketika anak-anak memasukan informasi
mereka yang sudah ada. Akomodasi ketika anak menyesuaikan skema mereka agar
sesuai dengan informasi dan pengalaman baru.
Sedangkan organisasi menurutnya,
anak-anak mengatur pengalaman mereka secaa kognitif untuk mengratikan dunia
mereka. Ekuilibrasi adalah mekanisme yang diajukan Piaget untuk menjelaskan
bagaimana anak-anak beralih dari satu tahap pemikiran ke tahap berikutnya
(Santrock, 2008:49).
Piaget juga meneliti tentang tahapan perkembangan. Dari penelitiannya, Piaget menyimpulkan bahwa perkembangan kognitif annak berjalan melalui rangkaian tetap. Pola operasi yang dapat dilakukan anak-anak dapat dikatakan sebagai level atau tahapan (Schunk, 2012:332). Piaget membaginya menjadi empat tahapan, yakni tahap sensori motorik, tahap pra-operasional, tahap operasional kongkrit, dan tahap operasional formal
.
Implikasi teori Piaget dalam dunia
pendidikan adalah (Schunk, 2012: 336): (1) Pahami perkembangan kognitifnya.
Guru akan mendapatkan keuntungan jika ia memahami pada level-level apa para
siswanya menjalankan fungsinya. Guru dapat mencoba memastikan level-levenya dan
menjalankan pengajaran mereka sesuai dengan hal itu; (2) Jaga agar Siswa tetap
aktif.
Anak-anak membutuhkan lingkungan yang
kaya yang memberinya kesempatan ntuk bereksplorasi secara aktif dan menjalani
kegiatan-kegiatan yang melibatkan partisiasi aktif mereka; (3) Ciptakan
ketidaksesuaian. Perkembangan menurt Piaget terjadi ketika input, input
lingkungan tidak sesuai dengan struktur-struktur kognitif siswa; dan (4)
Memberikan interaksi sosial.
Lingkungan sosial tetap saja merupakan
sumber bagi perkembangan kognitif. Kegiatan yang memberikan interaksi sosial
akan bermanfaat. Belajar bahwa orang lain dapat memiliki sudut pandang yang
berbeda-beda dapat membantu anak-anak untuk tidak egosentris.
Teori
Kognitivisme Jerome Bruner
Jerome Bruner dikenal dengan belajar
penemuan (Discovery Learning). Bruner
mengganggap, bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara
aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberi hasil yang paling baik (Trianto, 2017 : 38). Menurut Jerome Bruner,
pembelajaran hendaknya dapat menciptakan situasi agar mahasiswa dapat belajar
dari diri sendiri melalui pengalaman dan eksperimen untuk menemukan pengetahuan
dan kemampuan baru yang khas baginya (Anidar, 2017).
Bruner berpendapat bahwa kegiatan
belajar akan berjalan baik dan kreatf jika siswa menemukan sendiri suatu aturan
atau kesimpulan tertentu. Dalam hal ini Bruner (Syah, 2009) membedakan menjadi
tiga tahap, yaitu: (1) Tahap informasi, yaitu tahap awal untuk memperoleh
pengetahuan atau pengalaman baru, (2) Tahap transformasi, yaitu tahap memahami,
mencerna dan menganalisis pengetahuan baru serta mentransformasikan dalam
bentuk baru yang mungkin bermanfaat untuk hal-hal yang lain, dan (3) Tahap
evaluasi, yaitu untuk mengetahui apakah hasil tranformasi pada tahap kedua tadi
benar atau tidak.
Dalam dunia pendidikan gagasan Jerome
Bruner berimplikasi pada startegi dalam proses pembelajaran. Dalam proses
pembelajaran, pendidik bisa menghadapkan anak-anak pada situasi masalah,
kemudian mereka akan berusaha membandingkan realita di luar dirinya dengan
model mental yang telah dimilikinya dan dengan pengalamannya anak akan mencoba
menyesuaikan atau mengorganisasikan kembali struktur-struktur idenya dalam
rangka untuk mencapai keseimbangan di dalam benaknya (Ibda, 2015).
Proses tersebut dinamakan dengan Discovery Learning. Discovery Learning
memberikan kebebasan sampai batas-batas tertentu untuk menyelidiki, secara
perorangan atau kelompok, dalam suatu tanya jawab dengan guru, atau oleh siswa,
atau oleh siswa-siswa lain untuk memecahkan masalah yang diberikan oleh guru
(Buto, 2011).
Teori
kognitivisme Ausebel
David Ausebel menggagas konsep belajar
bermakna. Proses belajar terjadi jika siswa mampu mengasimilasikan pengetahuan
yang dimilikinya dengan pengetahuan baru (meaning
full learning) (Nurhadi, 2020). Menurut Burhanuddin (1996) pembelajaran
bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep
relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang.
Struktur kognitif meliputi fakta-fakta,
konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat
oleh siswa. Menurut Ausebel (Budiningsih, 2015) belajar terjadi melalui
tahap-tahap: 1). Memperhatikan stimulus yang diberikan; 2). Memahami makna
stimulus menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami; 3). Mening
full leraning adalah suatu proses dikaitkannya.
Konsep belajar bermakna landasan dari
teori konstruktivistik. Dalam proses belajar seseorang mengkonstruksi apa yang
telah ia pelajari dan mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta
baru ke dalam struktur mereka (Rahmah, 2013). Langkah-langkah belajar bermakna
menurut Ausubel (Rahmah, 2013) diantaranya: 1). Menentukan tujuan belajar; 2).
Melakukan identifikasi karakteristik siswa; 3). Memilih materi pelajaran yang
sesuai dengan karakterstik siswa dan mengaturnya dalam bentuk konsep-konsep
inti; 4).
Menentukan topik-topik dan
menampilkannya dalam bentuk advance
organizer yang akan dipelajari siswa. Selain melahirkan teori
konstruktivistk, impilkasi gagasan Ausebel adalah guru harus memiliki logika
berfikir yang baik, agar dapat memilah-milah materi pembelajaran, merumuskannya
dalam rumusan yang singkat, serta mengurutkan materi tersebut dalam struktur
yang logis dan mudah dipahami (Mulyati, 2015:80).
Teori
Kognitivisme Rober Gagne
Menurut Robert M Gagne, pembelajaran
adalah seperangkat proses internal setiap individu sebagai hasil
mentransformasi stimulus eksternal dalam lingkungan individu. Kondisi eksternal
dapat dibuat lebih bermakna dengan mengorganisasikannya melalui metode, pengkondisian,
atau perlakuan dalam urutan peristiwa pembejaran (Tung, 20150).
Pembelajaran menurut gagne hendaknya
mampu menimbulkan peristiwa belajar dan proses kognitif (Warsita, 2008).
Peristiwan pembelajaran (instructional
events) adalah peristiwa dengan urutan: (1) Menimbulkan minat dan pemusatan
perhatian, (2) menyampaikan tujuan pembelajaran, (3) Meningatkan kembali konsep
yang telah dipelajari, (4) Menyampaikan materi pembelajaran, (5) Memberikan
bimbingan atau pedoman untuk belajar, (6) Membangkitkan timbulnya unjuk kerja
peserta didik, (7) Memberikan umpan balik tentang kebenaran, (8) Mengukur atau
mengevaluasi hasil belajar, dan (9) Memperkuat retens dan transfer belajar
(Miarso, 2004:245)
Implikasi konsep gagne dalam
pembelajaran diantaranya adalah: (1) Perlunya pendidik melakukan analisis
instruksional yaitu proses menjabarkan perilaku umum menjadi perilaku khusus
yang tersusun secara logis dan sistematis (Warsita, 2008), dengan melakkan
analisis instruksional akan tergambar susunan perilaku khusus dari yang paling
awal atau sederhana sampai yang paling akhir atau kompleks (Suparman 2004), dan
(2) Pentingnya pendidik dalam memberi motivasi belajar, mengembangkan keaktifan
dan keterlibatan langsung peserta didik, pengulangan, memberikan penguatan dan
menciptakan lingkungan belajar khususnya media belajar (Warsita, 2008).
Pemikiran Gagne melahirkan beberapa
tipe belajar, seperti belajar sinyal (signal
learning), belajar stimulus respon (stimulus
respone learning), belajar memecahkan masalah (problem solving learning), dan sebagainya.
Gagasan dari keempat tokoh penganut
teori belajar kognitif di atas apa yang bisa dimanfaatkan oleh pendidik dalam
mewujudkan keterampilan abad 21 atau 4 C?. Jawabanyan penulis rangkum ke dalam
tabel di bawah ini.
Kesimpulan
Dalam teori belajar kognitif proses belajar lebih penting dari pada hasil.
Proses belajar seseorang tidak hanya cenderung pada hubungan stimulus dan
respon, melainkan juga bagaimana perilaku seseorang dalam mecapai tujuan
belajar. Tokoh-tokoh kognitivisme seperti Jean Piaget, Jerome Brunne, Ausebel
dan Robert M Gagne telah melahirkan gagasan pendekatan belajar, seperti Problem Based Learning (PBL), Advanced Organizer Visual,
Konstruktivistik. Kesemuanya dapat digunakan oleh guru dalam mewujudkan
keterampilan abad 21.
Daftar Pustaka
Abdullah, Ade Gafar
& Ridwan, Taufik. 2008. Implementasi Problem Based
Learning (PBL) Pada Proses Pembelajaran di BPTP Bandung. Jurnal
Penelitian pendidikan. Vol. V No.13 Agustus 2008.
Aji, Muhamad QW. 2019. Mengembangkan Kecakapan Abad 21 Mahasiswa Melalui Model Pembelajaran Inkuiri. Jurnal Teknodika. Vol 17. No.2. 02 September 2019
Agustini, K. L. (2018). Persaingan Industri 4.0 di ASEAN: Dimana Posisi Indonesia. Yogyakarta: Forbil Institute.Anggo, M.
Ahlah, Melianah. (2020). Membangun Karakter Siswa Melalui Literasi Digital Dalam Menghadapi Pendidikan Abad 21 Era Society 5.0. In Prosiding Seminar Nasional Program Pascasarjana Universitas PGRI Palembang, 805-814.
Angelo, T. A. (1995). Beginning the dialogue: thoughts on promoting critical.thinking: classroom assegment for critical thinking. Teaching of phychology, 22(1), 6-7
Anidar, Jum. 2017. Teori Belajar Menurut Aliran Kognitif Serta Implikasinya Dalam Pembelajaran. Jurnal Al Taujih. Vol.3, No.2 2017
Arnyana, I.B.P. 2018. Pembelajaran Sains 4,0 Prosiding Seminar Nasional MIPA.
Arnyana, I.B.P. 2019. Pembelajaran Untuk Meningkatkan Kompetensi 4C (Communication, Collaboration, Critical Thinking dan Creative Thinking) Untuk Menyongsong era Abad 21. Vol.1 No.1: Prosiding Konferensi Nasional Matematika dan IPA Universias PGRI Banyuwangi
Ball, A., Joyce, H. D., & Butcher, D. A. (2016). Exploring 21st century skills and learning environments for middle school youth. International Journal of School Social Work, 1(1), 1-25.
Budiningsih, Asri. 2015. Belajar dan pembelajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Buto, Zulfikar Ali. 2012. Implikasi Teori Pembelajaran Jerome Bruner Dalam Nuansa Pendidikan Modern. Jurnal Millah Edisi Khusus Desember. DOI: 10.20885/millah.ed.khus.art3
Danial, M. (2010). Pengaruh Strategi Pembelajaran PBL dan GI terhadap Metakognisi dan Penguasaan Konsep Kimia Dasar Mahasiswa Jurusan Biologi FMIPA UNM. Disertasi tidak diterbitkan. Program Pasca Sarjana (S3) Universitas Negeri Malang.
Frasandy, Rendy N, Septikasari, Resti. 2018. Keteramplan 4C Abad 21 Dalam Pembelajaran Pendidikan Dasar. Jurnal Tarbiyah Al-Awlad. Vol.VIII. Edisi 02 2018.
Given. K. Barbara. 2014. Brain-Based Teaching. Merancang kegiatan belajar mengajar yang melibatkan Otak, Emosional, Sosial, Kognitif, Kinestetik, dan Reflektif. Kaifa. Bandung.
Gredler, Margaret E. 2011. Learning and Instruction: Teori dan Aplikasi: Edisi Keenam.
Greenstein, L. (2012). Assessing 21st Century Skills: A Guide to Evaluating Mastery and Authentic Learning. California: Corwin, A Sage Company.
Griffin, P., & Care, E. (2015). Assessment And Teaching of 21st Century Skills: Methods and Approach. Dodrecht:Springer Business Media.
Hasibuan, Prastowo. (2019). Konsep Pendidikan Abad 21: Kepemimpinan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia SD/MI. Jurnal MAGISTRA, 10(1), 26-50.
Ibda, Fatimah. 2015. Perkembangan Kognitif: Teori Jean Piaget. Jurnal intelektualita. Vol.3, No.1, Januari-Juni 2015
Kelley, David & Kelley, Tom, 2013. Creative Confidence: Unleashing the Creative Potential Within Us All. Newyork: Harer Collins Publishers
Khodijah, Nyayu, 2014, Psikologi Pendidikan. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Matindas.R. (1996). Berfkir Kritis dan Pengembangannya. (tersedia online). http://didin-uninus.blogspot.co.id/2008/03/berpikir-kritis-danpengembangannya.html. (diakses pada tanggal 16 Mei 2017)
Miarso, Yusufhadi. 2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, Jakarta: Penerbit Prenada Media
Mulyati. 2015. Psikologi Belajar. Yogyakarta: Andi Ofset.
Munandar, U. 2009. Perkembangan Kreativitas anak berbakat. Jakarta: Rineka Cipta.
Nugroho, Puspo. 2015. Pandangan Kognitifisme Dan Aplikasinya Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Anak Usia Dini. ThufuLA: Jurnal Inovasi Pendidikan Islam Anak Usia Dini. Vol. 3 | No. 2 | Juli-Desember.
Nurhadi.2020. Teori Kognitivisme Serta Aplikasinya Dalam Pembelajaran. Jurnal Edukasi dan Sains. Vol.2, No.1, juni 2020:77-95
Osman, K., Hiong, L. C., & Vebrianto, R. (2013). 21st century biology: an interdisciplinary
approach of biology, technology, engineering
Pacific Policy Research Center. (2010). 21st Century Skills for Students and Teachers. Honolulu: Kamehameha Schools, Research & Evaluation Division
Rahmah, Nur. 2013. Belajar Bermakna Ausubel. Jural Al-Khawarizmi. Vol.I, Maret 2013.
Redhana, I. W. (2019). Mengembangkan keterampilan abad ke-21 dalam pembelajaran Kimia. Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, 13(1).
Saam, Zulfan. 2010. Psikologi Pendidikan. Pekanbaru: UR Press.
Santrck, John W.2008. Educational Psychology, ed3th. New York. McGraw Hill
Satya, V. E. (2018) Strategi Indonesia Menghadapi Industri 4.0. Jurnal Kajian terhadap Isu Aktual Dan Strategis.X(09) hal. 19-25
Schunk, Dale H.2012. Learing Theories An Educational Perspective. London: Pearson Education
Schwab, klaus. 2016.The Fourth Industrial Revolustion. Switzerland: World Economic Forum
Silfia, Mira.2018. Penguatan Pendidikan Karakter Dalam Menghadapi Era Revolusi Industri 4.0. Prosiding Seminar Nasional Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Vol 2 Tahun 2018, hal 642 – 645
Simanjuntak, Maria Dewi R. 2019. Membangun Keterampilan 4C Siswa Dalam Menghadapi Revolusi Industri 4.0. Prosiding Seminar Nasional Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Vol 3, Tahun 2019, hal 921 – 929
Siswono, Tatag Yuli E. 2008. Proses Berpikir Kreatif Siswa Dalam Memecahkan Dan Mengajukan Masalah Matematika. Jurnal Ilmu Pendidikan. Vol.15, No.1
Suparman, M. Atwi. 2004. Desain Instruksional, Jakarta: Penerbitan Universitas Terbuka
Syah, Muhibbin, 2009, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung: Remaja Rosda Karya
The Partnership for 21st Century Learning. (2015). P21 Framework Definitions. Diakses 3 November 2015 dari http://www.p21.org/storage/docume nts/docs/P21_Framework_Definitions_New_Logo_2015
Trianto.2017.Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, Progresif, dan Kontekstual: Konsep Landasan, dan Implementasi pada Kurikulum 2013. Jakarta: Kencana
Tung, Khoe Y.2015. Pembelajaran dan Perkembangan Belajar. Jakarta:Indeks
Wade, C. 1995. Using writing to Develop and Assess Critical Thinking. Teaching of Psychology, 22 (1), 24-28.
Warsita, Bambang.2008. Teori Belajar Robert M Gagne dan Implikasinya Pada Pentingnya Pusat Sumber Belajar. Jurnal Teknodik. Vol.12. No.1, juni 2008. https://doi.org/10.32550/teknodik.v12i1.421
Warsono & Hariyanto. 2012. Pembelajaran Aktif: Teori dan Asesmen. Bandung: Remaja Rosda karya
Zubaidah,, Siti. 2018. Mengenal 4C: learning And Innovation Skills untuk Menghadapi Era Revolusi Industri 4.0.1. Makalah Disampaikan pada Seminar “2nd Science Education National Conference” di Universitas Trunojoyo Madura