Oleh: Puguh Sudarminto (2022), Editor in Chief Teras Academy.
Dijelaskan
oleh Supriyanto, pelaksana Tugas Kepala
Pusat Perbukuan Kemdikbud Ristek karakteristik kurikulum prototipe (merdeka
belajar) adalah menerapkan pembelajaran berbasis proyek untuk mendukung
pengembangan karamter sesuai dengan profil pelajar pancasila. Dalam kurikulum
merdeka, sekolah diberikan keluasaan dan kemerdekaan untuk memberikan
proyek-proyek pembelajaran yang relevan dan sesuai dengan konteks anak di
lingkungannya.
Model
Pembelajaran Berbasis Project (Project
Based Learning) merupakan salah satu model pembelajaran berbasis proyek
yang sering diterapkan oleh guru. Menurut
Nurfitriyanti (2016), Project Based learning adalah pembelajaran yang
memerlukan jangka waktu panjang serta menitikberatkan pada aktivitas siswa
untuk mendapatkan pemahaman suatu konsep atau prinsip dengan melakukan
investigasi secara mendalam tentang suatu masalah da mencari solusi yang relevan
serta diimplementasikan dalam pengerjaan proyek, sehingga peserta didik
mengalami proses pembelajaran yang bermakna dengan membangun pengetahuannya
sendiri.
Sedangkan
Rona dan Siska (2018) menjelaskan bahwa Project
Based Learning adalah proses pembelajaran yang secara langsung melibatkan
siswa untuk menghasilkan proyek.
Project Based Learning menekankan
pada kegiatan siswa dalam memecahkan suatu masalah dengan menerapkan
keterampilan mengkaji, menganalisis, membuat/menciptakan, hingga mengkomunikasikan
suatu produk atau layanan berdasarkan konteks mereka. Landasan filosofis Project Based Learning adalah Constructivisme.
Konstruktivisme adalah suatu pendekatan ntuk pengajaran dan pembelajaran
berdasarkan pada premis bahwa “kognisi (pembelajaran) adalah hasil dari
“konstruksi mental.” (Sugrah, 2019). Siswa
belajar dengan menggabungkan informasi baru dengan informasi yang telah mereka
miliki.
Dalam
konstruktivisme, siswa belajar dipengaruhi konteks di mana ide diajarkan serta
keyakinan dan pengalaman siswa. Teori Konstruktivisme kemudian mengilhami
pendekatan Contextual Teaching and
Learning (CTL). Pendekatan CTL ini kemudian disempurnakan menjadi Project Based Learning (PBL). Jadi Project Based Learning (PBL) dapat
dimaknai sebagai model atau pendekatan pembelajaran inovatif, yang menekankan
pembelajaran kontekstual melalui kegiatan yang kompleks (Thomas, Mergendoller,
& Michaelson, 1999).
Prinsip Project Based Learning
Ada
tujuh prinsip Project Based Learning (Larmer, & Mergendller, 2010)
diantaranya:
1#. Memberi Stimulus
Guru
menceritakan tentang kondisi polusi udara di lingkungan sekitar. Guru mengajak
siswa berdiskusi, saling berbagi pengalama sehari-hari tentang keberadaan
polusi udara yang semakin mencekik pernafasan. Guru kemudian dapat
memperkealkan proyek sesai dengan topik dengan memberi tahu siswa mereka akan
belajar lebih banyak tentang polusi udara dan mereka dapat mengusulkan tindakan
untuk menguranginya.
Guru
dapat mengaktifkan kebutuhan siswa untuk mengetahui konten dengan meluncurkan
proyek. Media yang bisa digunakan berupa video, diskusi, pembicara tamu,
observasi. Mengumumpakn sebuah proyek hanya melalui lisan atau secarik kertas
membuat siswa kurang bersemangat. Dengan proyek yang dibungkus menarik, dapat
memacu siswa untuk menerima tantangan dari Anda.
2#. Pertanyaan Penuntun
Setelah
diskusi tentang pecemaran udara, guru memimpin para siswa untuk melakukan
brainstorming mencari solusi yang mungkin bisa diterapkan, seperti kampanye
mobil listrik, menaikan pajak kendaraan yang menggunakan bahan bakar bensin.
Siswa
dapat membuat pertanyaan pendorong untuk memfokuskan upaya mereka dapat
mengurangi polusi udara:”Bagaimana mereka dapat berperan dalam mengurangi
polusi udara di sekitar?”. Pertanyaan penuntun yang baik dapat menangkap inti
proyek dalam bahasa yang jelas dan menarik, yang dapat membantu siswa mencapai
tujuan serta menerima tantangan.
Tanpa
pertanyaan penuntun, siswa tidak mengerti mengapa mereka melakukan suatu
proyek. Mereka tahu rangkaian kegiatan yang ditugaskan oleh mereka, tetapi jika
Anda bertanya, ‘Apa gunanya semua kegiatan ini?” mereka mungkin hanya akan
menjawab dengan jawaban seadanya.
3#. Suara dan Pilihan Siswa
Setelah
minat siswa tergugah oleh pertanyaan yang meantang, guru bisa menjelaskan
persyaratan untuk proyek: makalah, aatau presentasi karya. Siswa dapat memilih
untuk mengembangkan media kit, informasi layanan massyarakat, dan lainnya.
Semakin banyak suara dan pilihan, semakin baik. Pada akhirnya guru harus bisa
membantu merancang proyek dengan tingkat pilihan siswa yag sesuai dengan gaya
serta konteks siswa itu sendiri.
4#. Keterampilan Abad 21
Siswa
mulai bekerja, berkolaborasi untuk bisa mewujudkannya. Kolaborasi adalah inti
dari proyek. Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok dan mulai merencanakan
tugas. Saat mereka bekerja. Mereka juga saling berkomunkasi. Untuk meningkatakn
keterampilan berkolaborasi, guru bisa menggunakan aktivitas bermain peran dan
membangun tim. Selain itu juga bisa menunjukkan kepada siswa bagaimana
menggunakan waktu dan mengatur tugas, termask juga melatih keterampilan
presentasi lisan serta membuat video atau podcast.
Sebuah
proyek harus memberi siswa kesempatan untuk membangun keterampilan abad ke-21,
seperti kolaborasi, komunikasi, kreatif, dan berpikir kritis.
5#. Penyelidikan dan Inovasi
Setelah
diskusi, selain memilih pertanyaan penuntun, siswa dengan bantuan guru membuat
pertanyaan yang lebih rinci tentang akibat dari polusi udara. Termasuk
pertanyaan, penyakit apa yang dapat ditmbulkan oleh asap kendaraan bermontor?
Apakah ada cara yang lain selain siswa ketika pergi ke sekolah tidak diantara
menggunakan kendaraan bermontor?.
Tim
menyempurnakan pertanyaan serta mendiskusikan untuk menemukan jawaban dengan
dibantu oleh guru,buku, surat kabar, artikel internet, dan sebagainya. Siswa
akan meemukan proyek lebih bermakna jika mereka melakukan penyelidikan nyata.
Dengan penyelidikan yang nyata, munculah inovasi.
6#. Umpan Balik dan Revisi
Saat
siswa mengembangkan ide dan produk, anggota tim saling memberikan kritik dan
masukan satu sama lain dengan menggunakan rubrik. Guru bisa memeriksa catatan
penelitian/proyek, perencanaan, dan bertemu dengan anggota tim untuk memantau
kemajuan. Saling memberikan umpan balik membuat pembelajaran lebih bermakna
sekaligus menunjukkan kepada mereka bahwa menciptakan produk yang berkualitas
tinggi adalah penting. Selain itu guru sekaligus dapat melatih siswauntuk
menggunakan lembar penilaian.
7#. Mempresentasikan Forum Umum
Tuga
sekolah akan lebih bermakna jika tdak hanya dipresentasikan atau ditujukan
kepada guru atau teman sebaya, namun juga kepada orang tua atau
masyarakat.
Tahapan
Project Based Learning
Mengutip The George Lucas Foundation (2005),
tahapan Project Based Learning diantaranya adalah:
1#.
Memulai Pertanyaan Esensi
Pembelajaran dimulai dengan pertanyaan esensial,
pengungkit atau penuntun yang dapat memberikan stimulus kepada siswa melakukan
aktivitas. Topik yang dipilih sesuai dengan realitas serta relevan dunia nyata
anak-anak.
2#. Merencanakan
Proyek
Guru sebagai fasilitator mengajak siswa untuk
membuat perencanaan. Diharapkan siswa dapat merasakan kepemilikan sebuah proyek
yang telah direncanakan. Perencanaan terkait dengan role, alat dan bahan.
3#.
Menyusun Jadwal
Guru berkolaborasi dengan siswa menyusun jadwal
aktivitas dalam menyelesaiakn proyek. Jadwal sebaiknya dibuat menggunakan
timeline didalamnya terdapat deadline. Termasuk di dalamnya mendorong peserta
didik merencanakan dengan cara baru, membimbing, serta bertanya kepada mereka
mengapa mereka memilih cara tersebut.
4#.
Implementasi dan Monitor Perkembangan Proyek
Tahap selanjutnya adalah implementasi serta
melakukan monitoring. Monitor dapat dilakukan dengan rubrik. Tujuan dari proses
ini adalah memfasilitasi peserta didik pada setiap proses serta memberikan
pembimbingan.
5#.
Penilaian
Penilaian dilakukan untuk membantu guru dalam
mengukur kemajuan dari proyek serta sebagai bahan evaluasi dari masing-masing
siswa, dan dalam rangka memberikan umpan balik mulai dari pemahaman hingga
ketercapaian dari perencanaan dan dapat digunakan dalam merencanakan kegiatan
serupa.
6.
Evaluasi
Tahap terakhir adalah guru dan siswa melakukan
refleksi terjadap aktivitas dan hasil dari proyek yang sudah dikerjakan. Pada
tahap ini peserta didik diminta untuk mengungkapkan perasaan dan pengalamnnya
selama menyelesaikan proyek. Guru dan peserta didik mengembangkan diskusi
bersama dalam rangka memperbaiki kinerja pembelajaran.
Design for Change
Teori Konstruktivisme telah melahirkan gagasan
pembelajaran kontekstual, kemudian berevolusi menjadi Project Based Learning
(PBL). Project Based Learning tidak selesai. PBL akan lebih sempurna
jika implementasinya turut melibatkan pendekatan Design for Change
(DfC).
Design
for Change (DfC) adalah proses pemikiran
kolaboratif dan kreatif yang memungkinkan siswa dapat menemukan solusi inovatif
untuk masalah dan tantangan yang sedang mereka hadapi setiap hari, baik di
sekolah maupun di dalam lingkungan mereka (Puguh, 2022).
Tahapan Design for Change (DfC) diantaranya adalah:
Pertama, Merasakan
(feels)
Langkah pertama mengajak anak-anak untuk
berempati dengan cara mencari solusi suatu permasalahan adalah dengan memahami
perasaan orang lain.
Kedua,
Membayangkan (imagine)
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan
ide sebanyak-banyaknya dan membayangka sebuah solusi yang tak biasa.
Melakukan
(do)
Setelah ide-ide terkumpul, kemudian
anak-anak memilih salah satu. Ide yang sudah dipilih kemudian dilaksanakan
sehingga bisa membuat perubahan.
Berbagi
(share)
Guru mendorong anak-anak untuk membagikan
temuan mereka, baik kepada teman sebaya atau orang tua mereka sendiri melalui berbagai
media, seperti mading sekolah atau media sosial.
Mengapa
Design for Change
Pendekatan Design for Change mempunyai kesamaan dengan Project Based Learning. Diantara kesamaan tersebut adalah:
1. Keduanya menekankan pada konteks siswa (contextual)
2. Pembelajaran berbasis aktivitas serta penemuan (inquiry)
3. Sama-sama mempunyai tujuan untuk meningkatkan
keterampilan abad 21
4. Guru sebagai jembatan atau fasilitator
5. Menekankan pada umpan balik untuk perbaikan
6. Berbagi proyek kepada dunia
Namun yang membedakan dari DfC adalah,
pendekatan Design for Change lebih
simpel. Kemudian pendekatan ini berakar dari konsep Design Thinking yang oleh Kiran Bir Sethi disederhanakan tahapannya
menjadi FIDS. Kemudian pendekatan Design
for Change sangat menekankan pada kebutuhan pengguna (siswa) pada tahap
awal. Jadi project sebelum di rencanakan, harus ada aktivitas yang dinamai
dengan “mendalami kebutuhan atau problem” yang sedang dihadapi siswa atau yang
sedang dikaji bersama. Setelah tahap awal terlaksana, tahap selanjutnya adalah
melibatkan siswa sepenuhnya (guru sebagai fasilitator) dalam menciptakan
solusi.
Jika Pendekatan Design for Change dilebur dalam Project
Based Learning (PBL) desain nya akan terlihat seperti gambar di bawah ini:
Kurikulum
Merdeka
Salah satu komponen Kurikulum Merdeka
adalah penguatan profil pelajar Pancasila yang memiliki 6 ciri (Rachmawati et
al., 2022): 1) beriman, bertaqwa kepada Tuhan dan berakhlak mulia; 2) mandiri;
3) bernalar kritis; 4) kreatif; 5) bergotong royong; 6) berkebinekaan global. Profil
pancasila yang dimiliki oleh peserta didik berperan sebagai simbol siswa yang
berbudaya, berkarakter serta memiliki nilai-nilai Pancasila (Rosmana et al.,
2022). Profil pelajar Pancasila menopang pendidikan karakter dalam kurikulum
merdeka.
Suhardi (2022) berpendapat ada 4 prinsip
profil Pancasila diantaranya adalah, 1) Holistik; 2) Kontekstual; 3) Berpusat
pada peserta didik; 4) Eksploratif. Guru mempunyai peran penting dalam
mewujudkan profil pelajar Pancasila –terutama dalam mengimplementasikannya
dalam pembelajaran sehari-hari. Model pembelajaran yang dipilih harus
megutamakan kesesuaian integrasi antara lintas mata pelajaran dan menentukan
asesmen berbasis proyek (Faiz et.al., 2022). Jadi mata pelajaran bisa terintegrasi
serta waktu pelaksanaan ditentukan bersama-sama.
Model serta pendekatan pembelajaran yang
dapat diimplementasikan dalam mewujudkan profil pelajar Pancasila adalah
menggunakan Project Based Learning
(PBL). Project Based Learning (PBL)
sesuai dengan prinsip-prinsip profil pelajar Pancasila yang dikemukakan oleh
Suhardi serta Rosmana dkk. Project Based
Learning (PBL) akan menjadi sempurna jika guru menambahkan pendekatan Design for Change (DfC).
Referensi:
Larmer, John, & Mergendoller,
J.R. Seven Essentials for Project-Based Learning. Educational Leadership
September 2010; Volume 68; Number 1
Nurfitriyanti, M. (2016). Model
Pembelajaran Project Based Learning Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematika. Jurnal Ilmiah Pendidikan MIPA 6(2), 1
Rachmawati, N., Marini, A., Nafiah, M., & Nurasiah, I. (2022). Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dalam Implementasi Kurikulum Prototipe di Sekolah Penggerak Jenjang Sekolah Dasar. Jurnal Basicedu, 6(3), 3614–3625.
Rosmana, P., Iskandar, S., Faiziah, H., Afifah, N., & Khamelia, W. (2022). Kebebasan Dalam Kurikulum Prototype. As-Sabiqun, 4 (1), 115–131
Sari, R.T., dan Angreni, Siska. 2018.
Penerapan Model Pembelajaran Project Based Learning Upaya Peningkatan
reativitas Mahasiswa. Varia Pendidikan. Vol.30.No.1
Sugrah, Nurfatimah. 2019.
Implementasi Teori Belajar Konstruktivisme Dalam Pembelajaran Sains. Jurnal
Humanika. Vol 19. No.2
Suhardi, S. (2022). Nalisis
Penerapan Pendidikan Agama Islam Dalam Demensi Profil Pancasila. Prosiding
JLas,
1(1), 468–476.
The George Lucas Educational
Foundation .(2005).Instructional Module Project Based Learning. Diambil pada
tanggal 10 Juli 2007 dari http://www.edutopia.org/modules/PBL/whatpbl.php
Thomas, J.W., Margendoller, J.R.,
& Michaelson, A. 1999. Project Based Learning: A Handbook for Middle and
High School Teachers. http://bgsu.edu/organizations/ctl/proj.htm