Teori Psikososial Erik Erikson - Teras Academy
News Update
Loading...

5/22/2022

Teori Psikososial Erik Erikson

 

Sumber, https://practicalpie.com/

Diantara para psikolog kontemporer, Erik Erikson merupakan salah satu psikolog dengan reputasi yang tidak perlu diragkan, meskipun ia tidak pernah menyandang gelar universitas. Meskipun begitu, ia pernah menjabat posisi tertinggi sebagai Porfesor di Harvard, Universitas California Berkeley, dan Yale. Sebuah studi 2002, menempatkan Erikson sebagai psikolog terkemuka ke-12 di abad 20.

 

Erikson, seorang psikolog sekaligus tokoh pendidikan terkenal. Lahir di Frankurt, Jerman 15 Juni 1902. Dibesarkan oleh seorang ayah berkebangsaan Denmark dan ibu keturunan Yahudi. Setelah menyelesaikan pendidikan di Gymnasium, pada usia 25 tahun ia diundang untuk mengajar sekolah swasta di Wina. Di sana ia mulai tertarik pada ilmu pendidikan anak-anak.

 

“Hidup tidak masuk akal tanpa saling ketergantungan. Kita saling membutuhkan, dan semakin cepat kita mengetahui, semakin baik bagi kita semua.” –Erik Erikson

 

Ketertarikannnya tersebut membuat Erikson mulai melirik metode Montessori. Metode Montessori menekankan perkembangan inisiatif anak sendiri melalui permainan dan pekerjaan. Pengaruh lainnya terhadap teori Psikoanalisis setelah berkenalan dengan Freud. Di Institut Psikoanalisis Wina, ia belajar  dengan Anna Freud dan menyelesaikannya pada tahun 1933.

 

Reputasi Erikson begitu dikenal banyak orang karena konsepnya tentang perkembangan psikososial. Menurutnya, bahwa orang harus menemukan identitasnya dalam potensi-potensi masyarakatnya, sedangkan perkembangkannya harus selaras dengan syarat-syarat yang dicanangkan masyarakat, atau mereka harus menanggung sebab akibat.

 

Sumbangsih Terbesar

 

Sumbangsihnya terbesar adalah tentang teori psikososial. Psikososial merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan hubungan antara kondisi sosial seseorang dengan kesehatan mental/emosionalnya –melibatkan aspek psikologis dan sosial.

 

Dalam teori Psikososial Kepribadian, Erikson membagi menjadi delapan tahapan. Ia membaginya menjadi tahap-tahap berdasarkan ego pada masing-masing tahap, yaitu:

 

Kepercayaan Dasar vs Kecurigaan Dasar

 

Kepercayaan dasar yang paling awal terbentuk selama tahap sensorik oral dan ditunjukkan oleh bayi lewat kapasitasnya untuk tidur dengan tenang, menyantap makanan dengan nyaman dan membuang kotoran dengan santai. Kebiasaan itu berlangsung terus dalam kehidupan bayi dan merupakan dasar paling awal bagi berkembangnya suatu perasaan identitas psikososial. Melalui pengalaman dengan orang dewasa, bayi belajar menggantungkan diri dan percaya pada mereka, tetapi mungkin yang lebih penting, ia mempercayai dirinya sendiri. Kepastias semacam itu harus mengungguli lawan negatif dari kepercayaan dasar yakni, kecurigaan dasar.

 

Pengharapan merupakan kebajikan paling awal dan paling esensial yang melekat dalam hidup. Fondasi pengharapan pertama terletak pada hubungan dengan orang tua yang memberikan pengalaman-pengalaman seperti ketenangan, makanan dan kehangatan.

 

Pada saat yang sama, ia mengembangkan kemampuan untuk membuang pengharapan yang dikecewakan dan menemukan pengharapan dalam tujuan dan kemungkinan pada masa mendatang. Menurut Erikson, pengharapan adalah keyakinan yang bersifat menetap akan kemungkinan dicapainya hasrat-hasrat kuat.

 

Otonomi vs Perasaan Malu dan Keragu-raguan

 

Anak harus didorong untuk mengalami situasi-situasi yang menuntut otonomi dalam melakukan pilihan bebas. Rasa mampu mengendalikan diri akan menimbulkan dalam diri anak rasa memiliki kemauan baik dan bangga yang bersifat menetap. Sebaliknya rasa kehilangan kontrol diri dapat menyebabkan perasaan malu dan ragu-ragu yang bersifat menetap.

 

Nilai kemauan muncul pada tahap ke dua kehidupan ini. Anak belajar dari dirinya sendiri dan dari orang. Kemauan menyebabkan anak secara bertahap mampu menerima peraturan hukum dan kewajiban. Kemauan adalah kemampuan untuk membuat pilihan-pilihan bebas, memutuskan, melatih mengendalikan diri dan bertindak yang terus meningkat.

 

Ritualisasi menyebut ritualisasi tahap ini sifat bijaksana, karena anak mulai menilai dirinya sendiri dan orang lain serta membedakan antara benar dan salah. Penyimpangan ritualisme pada tahap ini adalah legalisme, yakni pengagungan huruf ketentuan hukum daripada semangatnya, mengutamakan hukuman daripada belas kasih.

 

Inisiatif dan Kesalahan

 

Tahap psikososial ketiga ialah tahap inisiatif yaitu suatu masa untuk memperluas penguasaan dan tanggung jawab. Selama tahap ini anak menampilkan diri lebih maju dan lebih seimbang secara fisik maupun kejiwaan.

 

Tujuan adalah nilai yang menonjol pada tahap perkembangan ini. Kegiatan utama anak dalam tahap ini adalah bermain, dan tujuan tumbuh dari kegiatan bermainnya, eksplorasi, usaha, kegagalannya serta eksperimen dengan alat permainannya.

 

Masa bermain ini bercirikan ritualisasi dramatik. Anak secara aktif berpartisipasi dalam kegiatan bermain, memakai pakaian, meniru kepribadian orang dewasa dan berpura-pura menjadi apa saja. Keterasingan batin yang dapat timbul pada masa kanak-kanak ini ialah suatu perasaam bersalah.

 

Padanan negatif dari ritualisasi dramatik adalah ritualisme impersonasi sepanjang hidup, yaitu melakukan tindakan yang tidak mencerminkan kepribadiannya yang sejati.

 

Inisiatif vs Kesalahan

 

Pada tahap ini, anak harus belajar mengontrol imjinasinya yang sangat kaya, dan mulai menempuh pendidikan formal. Bahaya dari tahap ini ialah anak bisa mengembangkan perasaan rendah diri apabila ia tidak berhasil menguasai tugas-tugas yang dipilihnya atau yang diberikan oleh guru dan orangtua.

 

Kerajinan vs Inferioritas

 

Selama masa [adolesen], individu mulai merasakan suatu perasaan tentang identitasnya sendiri, perasaan bahwa ia adalah manusia unik, namun siap untuk memasuki suatu peranan yang berarti di tengah masyarakat, entah peranan ini bersifat menyesuaikan diri atau bersifat memperbaharui. Inilah masa dalam kehidupan ketika orang ingin menentukan siapakah ia pada saat sekarang dan ingin menjadi apakah ia pada masa yang akan datang.

 

Daya penggerak batin dalam rangka pembentukan identitas ego dalam aspek-aspeknya yang sadar maupun tak sadar. Pada tahap ini ego memiliki kapasitas untuk memilih dan mengintegrasikan bakat-bakat dan ketrampilan dalam melakukan identifikasi dengan orang yang sependapat, dalam lingkungan sosial, serta menjaga pertahanannya terhadap berbagai ancaman dan kecemasan. Semua ciri yang dipilih oleh ego ini dihimpun dan diintegrasikan oleh ego serta membentuk identitas psikososial seseorang.

 

Peralihan yang sulit dari masa kanak-kanak ke masa dewasa di satu pihak dan karena kepekaan terhadap perubahan sosial dan historis dilain pihak, maka selama tahap pembentukan identitas seorang remaja, mungkin merasakan penderitaan paling dalam dibandingkan pada masa-masa lain akibat kekacauan peranan atau kekacauan identitas.

 

Istilah krisis identitas menunjuk pada perlunya mengatasi kegagalan yang bersifat sementara itu untuk selanjutnya membentuk suatu identitas yang stabil atau sebaliknya suatu kekacauan peranan. Kesetiaan adalah pondasi atas dasar mana terbentuk suatu perasaan identitas yang bersifat kontinyu. Ritualisasi yang menyertai tahap adolesen adalah ritualisasi ideologi. Penyimpangan ritualisasinya adalah totalisme.

 

Keintiman vs Isolasi

 

Tahap dimana orang dewasa awal siap dan ingin menyatukan identitasnya dengan orang lain. Agar memiliki arti sosial yang bersifat menetap maka genitalitas membutuhkan seseorang untuk dicintai dan diajak menngadakan hubungan seksual, dan dengan siapa seseorang dapat berbagi rasa dalam suatu hubungan kepercayaan. Bahaya pada keintiman ini adalah isolasi.Ritualisasi pada tahap ini adalah afiliatif yakni berbagi bersama dalam pekerjaan, persahabatan dan cinta. Penyimpangan ritualismenya adalah elitisme.

 

Generativitas vs Stagnasi

 

Ciri tahap ini adalah perhatian terhadap apa yang dihasilkan, keturunan, produk, ide serta pembentukan dan penetapan garis-garis pedoman untuk generasi mendatang. Apabila generativitas lemah atau tidak diungkapkan maka kepribadian akan mundur dan mengalami stagnasi. Nilai pemeliharaan berkembang dalam tahap ini.

 

Ritualisasi dari tahap ini ialah sesuatu yang generasional, yakni ritualisasi peranan orang tua, produksi, pengajaran dengan mana orang dewasa bertindak sebagai penerus nilai-nilai ideal kepada kaum muda. Penyimpangan dari ritualisasi ini adalah autoritisme.

 

Integritas vs Keputusasaan

 

Tahap terakhir dalam proses epigenetis perkembangan disebut integritas. Integritas paling tepat dilukiskan sebagai suatu keadaan yang dicapai seseorang setelah memelihara benda, produk, ide, orang dan setelah berhasil menyesuaikan diri dengan keberhasilan dan kegagalan dalam hidup.

 

Lawan integritas adalah keputusasaan tertentu menghadapi perubahan siklus kehidupan individu, terhadap kondisi sosial dan historis, belum lagi kefanaan hiidup di hadapan kematian.Kebijaksanaan adalah nilai yang berkembang dari hasil pertemuan antara integritas dan keputusasaan dalam tahap kehidupan yang terakhir ini.

 

Share with your friends

Give us your opinion

Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done