Sumber, https://practicalpie.com/ |
Diantara para psikolog kontemporer, Erik Erikson
merupakan salah satu psikolog dengan reputasi yang tidak perlu diragkan,
meskipun ia tidak pernah menyandang gelar universitas. Meskipun begitu, ia
pernah menjabat posisi tertinggi sebagai Porfesor di Harvard, Universitas
California Berkeley, dan Yale. Sebuah studi 2002, menempatkan Erikson sebagai
psikolog terkemuka ke-12 di abad 20.
Erikson, seorang psikolog sekaligus tokoh pendidikan
terkenal. Lahir di Frankurt, Jerman 15 Juni 1902. Dibesarkan oleh seorang ayah
berkebangsaan Denmark dan ibu keturunan Yahudi. Setelah menyelesaikan
pendidikan di Gymnasium, pada usia 25 tahun ia diundang untuk mengajar sekolah
swasta di Wina. Di sana ia mulai tertarik pada ilmu pendidikan anak-anak.
“Hidup tidak masuk akal tanpa saling ketergantungan. Kita saling membutuhkan, dan semakin cepat kita mengetahui, semakin baik bagi kita semua.” –Erik Erikson
Ketertarikannnya tersebut membuat Erikson mulai
melirik metode Montessori. Metode Montessori menekankan
perkembangan inisiatif anak sendiri melalui permainan dan pekerjaan.
Pengaruh lainnya terhadap teori Psikoanalisis setelah berkenalan dengan Freud.
Di Institut Psikoanalisis Wina, ia belajar dengan Anna Freud dan
menyelesaikannya pada tahun 1933.
Reputasi Erikson begitu dikenal banyak orang karena
konsepnya tentang perkembangan psikososial. Menurutnya, bahwa orang harus
menemukan identitasnya dalam potensi-potensi masyarakatnya, sedangkan
perkembangkannya harus selaras dengan syarat-syarat yang dicanangkan
masyarakat, atau mereka harus menanggung sebab akibat.
Sumbangsih Terbesar
Sumbangsihnya terbesar adalah tentang teori
psikososial. Psikososial merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan
hubungan antara kondisi sosial seseorang dengan kesehatan mental/emosionalnya
–melibatkan aspek psikologis dan sosial.
Dalam teori Psikososial Kepribadian, Erikson membagi
menjadi delapan tahapan. Ia membaginya menjadi tahap-tahap berdasarkan ego pada
masing-masing tahap, yaitu:
Kepercayaan Dasar vs Kecurigaan Dasar
Kepercayaan dasar yang paling awal terbentuk selama
tahap sensorik oral dan ditunjukkan oleh bayi lewat kapasitasnya untuk tidur dengan
tenang, menyantap makanan dengan nyaman dan membuang kotoran dengan santai.
Kebiasaan itu berlangsung terus dalam kehidupan bayi dan merupakan dasar paling
awal bagi berkembangnya suatu perasaan identitas psikososial. Melalui
pengalaman dengan orang dewasa, bayi belajar menggantungkan diri dan percaya
pada mereka, tetapi mungkin yang lebih penting, ia mempercayai dirinya sendiri.
Kepastias semacam itu harus mengungguli lawan negatif dari kepercayaan dasar
yakni, kecurigaan dasar.
Pengharapan merupakan kebajikan paling awal dan paling
esensial yang melekat dalam hidup. Fondasi pengharapan pertama terletak pada
hubungan dengan orang tua yang memberikan pengalaman-pengalaman seperti
ketenangan, makanan dan kehangatan.
Pada saat yang sama, ia mengembangkan kemampuan untuk
membuang pengharapan yang dikecewakan dan menemukan pengharapan dalam tujuan
dan kemungkinan pada masa mendatang. Menurut Erikson, pengharapan adalah
keyakinan yang bersifat menetap akan kemungkinan dicapainya hasrat-hasrat kuat.
Otonomi vs Perasaan Malu dan Keragu-raguan
Anak harus didorong untuk mengalami situasi-situasi
yang menuntut otonomi dalam melakukan pilihan bebas. Rasa mampu mengendalikan
diri akan menimbulkan dalam diri anak rasa memiliki kemauan baik dan bangga
yang bersifat menetap. Sebaliknya rasa kehilangan kontrol diri dapat
menyebabkan perasaan malu dan ragu-ragu yang bersifat menetap.
Nilai kemauan muncul pada tahap ke dua kehidupan ini.
Anak belajar dari dirinya sendiri dan dari orang. Kemauan menyebabkan anak
secara bertahap mampu menerima peraturan hukum dan kewajiban. Kemauan adalah
kemampuan untuk membuat pilihan-pilihan bebas, memutuskan, melatih
mengendalikan diri dan bertindak yang terus meningkat.
Ritualisasi menyebut ritualisasi tahap ini sifat
bijaksana, karena anak mulai menilai dirinya sendiri dan orang lain serta
membedakan antara benar dan salah. Penyimpangan ritualisme pada tahap ini
adalah legalisme, yakni pengagungan huruf ketentuan hukum daripada semangatnya,
mengutamakan hukuman daripada belas kasih.
Inisiatif dan Kesalahan
Tahap psikososial ketiga ialah tahap inisiatif yaitu
suatu masa untuk memperluas penguasaan dan tanggung jawab. Selama tahap ini
anak menampilkan diri lebih maju dan lebih seimbang secara fisik maupun
kejiwaan.
Tujuan adalah nilai yang menonjol pada tahap
perkembangan ini. Kegiatan utama anak dalam tahap ini adalah bermain, dan
tujuan tumbuh dari kegiatan bermainnya, eksplorasi, usaha, kegagalannya serta
eksperimen dengan alat permainannya.
Masa bermain ini bercirikan ritualisasi dramatik. Anak
secara aktif berpartisipasi dalam kegiatan bermain, memakai pakaian, meniru
kepribadian orang dewasa dan berpura-pura menjadi apa saja. Keterasingan batin
yang dapat timbul pada masa kanak-kanak ini ialah suatu perasaam bersalah.
Padanan negatif dari ritualisasi dramatik adalah
ritualisme impersonasi sepanjang hidup, yaitu melakukan tindakan yang tidak
mencerminkan kepribadiannya yang sejati.
Inisiatif vs Kesalahan
Pada tahap ini, anak harus belajar mengontrol
imjinasinya yang sangat kaya, dan mulai menempuh pendidikan formal. Bahaya dari
tahap ini ialah anak bisa mengembangkan perasaan rendah diri apabila ia tidak
berhasil menguasai tugas-tugas yang dipilihnya atau yang diberikan oleh guru
dan orangtua.
Kerajinan vs Inferioritas
Selama masa [adolesen], individu mulai merasakan suatu
perasaan tentang identitasnya sendiri, perasaan bahwa ia adalah manusia unik,
namun siap untuk memasuki suatu peranan yang berarti di tengah masyarakat,
entah peranan ini bersifat menyesuaikan diri atau bersifat memperbaharui.
Inilah masa dalam kehidupan ketika orang ingin menentukan siapakah ia pada saat
sekarang dan ingin menjadi apakah ia pada masa yang akan datang.
Daya penggerak batin dalam rangka pembentukan
identitas ego dalam aspek-aspeknya yang sadar maupun tak sadar. Pada tahap ini
ego memiliki kapasitas untuk memilih dan mengintegrasikan bakat-bakat dan
ketrampilan dalam melakukan identifikasi dengan orang yang sependapat, dalam
lingkungan sosial, serta menjaga pertahanannya terhadap berbagai ancaman dan
kecemasan. Semua ciri yang dipilih oleh ego ini dihimpun dan diintegrasikan
oleh ego serta membentuk identitas psikososial seseorang.
Peralihan yang sulit dari masa kanak-kanak ke masa
dewasa di satu pihak dan karena kepekaan terhadap perubahan sosial dan historis
dilain pihak, maka selama tahap pembentukan identitas seorang remaja, mungkin
merasakan penderitaan paling dalam dibandingkan pada masa-masa lain akibat
kekacauan peranan atau kekacauan identitas.
Istilah krisis identitas menunjuk pada perlunya
mengatasi kegagalan yang bersifat sementara itu untuk selanjutnya membentuk
suatu identitas yang stabil atau sebaliknya suatu kekacauan peranan. Kesetiaan
adalah pondasi atas dasar mana terbentuk suatu perasaan identitas yang bersifat
kontinyu. Ritualisasi yang menyertai tahap adolesen adalah ritualisasi
ideologi. Penyimpangan ritualisasinya adalah totalisme.
Keintiman vs Isolasi
Tahap dimana orang dewasa awal siap dan ingin
menyatukan identitasnya dengan orang lain. Agar memiliki arti sosial yang
bersifat menetap maka genitalitas membutuhkan seseorang untuk dicintai dan
diajak menngadakan hubungan seksual, dan dengan siapa seseorang dapat berbagi
rasa dalam suatu hubungan kepercayaan. Bahaya pada keintiman ini adalah
isolasi.Ritualisasi pada tahap ini adalah afiliatif yakni berbagi bersama dalam
pekerjaan, persahabatan dan cinta. Penyimpangan ritualismenya adalah elitisme.
Generativitas vs Stagnasi
Ciri tahap ini adalah perhatian terhadap apa yang
dihasilkan, keturunan, produk, ide serta pembentukan dan penetapan garis-garis
pedoman untuk generasi mendatang. Apabila generativitas lemah atau tidak
diungkapkan maka kepribadian akan mundur dan mengalami stagnasi. Nilai
pemeliharaan berkembang dalam tahap ini.
Ritualisasi dari tahap ini ialah sesuatu yang
generasional, yakni ritualisasi peranan orang tua, produksi, pengajaran dengan
mana orang dewasa bertindak sebagai penerus nilai-nilai ideal kepada kaum muda.
Penyimpangan dari ritualisasi ini adalah autoritisme.
Integritas vs Keputusasaan
Tahap terakhir dalam proses epigenetis perkembangan
disebut integritas. Integritas paling tepat dilukiskan sebagai suatu keadaan
yang dicapai seseorang setelah memelihara benda, produk, ide, orang dan setelah
berhasil menyesuaikan diri dengan keberhasilan dan kegagalan dalam hidup.
Lawan integritas adalah keputusasaan tertentu menghadapi perubahan siklus kehidupan individu, terhadap kondisi sosial dan historis, belum lagi kefanaan hiidup di hadapan kematian.Kebijaksanaan adalah nilai yang berkembang dari hasil pertemuan antara integritas dan keputusasaan dalam tahap kehidupan yang terakhir ini.